Saturday, March 31, 2012

Aku Menulis Karena Aku Tahu Aku Akan Mati


Tulisan ini adalah tulisan yang sudah lama saya tulis dan publish di account facebook saya, semoga menjadi pengingat bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umumnya..

Aku terdiam, kembali membaca kata-kata yang tertulis dihadapanku, otakku berusaha mencerna, mengirimkan pesan-pesan yang dibaca abstrak oleh hatiku. Benarkah? Nyatakah? Bahwa seorang penulis yang sangat kukagumi telah meninggal dunia?
Seorang penulis yang selalu berhasil membuatku menangis sesegukan setiap membaca karya-karyanya mengingatkanku dengan setumpuk dosa yang telah kulakukan selama hidupku.
Seorang penulis yang selalu berhasil membuatku tersenyum simpul malu karena terbawa angan memiliki seorang pendamping berwajah teduh berhias wudhu padahal usiaku ketika itu barulah enam belas tahun.
Seorang penulis yang selalu berhasil membuatku terguguh, menyadarkanku untuk selalu bersyukur bahwa Allah telah memberikanku segalanya dan berhenti untuk menuntut.

Otakku kemudian memberi perintah untuk membuka laman salah satu mesin pencari dunia maya, lalu mengetikkan sebuah kata kunci dan kulihat sebuah judul artikel yang membuatku semakin yakin bahwa kabar itu benar adanya “Nurul F Huda Menulis Hingga Detak Jantungnya Berhenti”. Disana tertulis bahwa beliau meninggal akibat kelainan jantung yang telah beliau idap dari kecil dan infeksi paru. Disana juga dituliskan sepenggal kutipan dari buku terakhirnya yang akan turun cetak dengan judul yang seolah menjadi sinyal perpisahannya “Hingga Detak Jantungku Berhenti”. Bercerita tentang bagaimana pisau bedah kecil namun tajam itu merobek kulitnya, menyayat tepat dijantungnya, hingga bagaimana jantungnya menyesuaikan diri dengan katup barunya yang kerap berbunyi “Thik..Thik..Thik..” dan semakin menyeramkan bila terdengar dimalam hari.

Hanya membaca penggalannya saja telah mampu membawaku kembali sadar bahwa begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan kepadaku selama ini, apalagi membaca seluruh tulisannya secara utuh. Tulisan yang diprediksikan akan berhasil menguras air mata para pembacanya karena buku itu benar-benar menggugah nurani yang selama ini lebih banyak mengeluh dan menuntut lebih, daripada bersyukur.

Aku begitu terkejut dan sedih, Ummat hari ini telah kehilangan salah satu penulis hebat yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk bergumul bersama kertas dan pena atas nama cinta, atas nama dakwah. Namun kemudian aku tersadar, Allah begitu mencintainya hingga Allah tak ingin menunda pertemuan dengannya lebih lama lagi. Ketika sang kekasih telah bertemu dengan Kekasih sejati lantas apa yang harus ditangisi?

Aku menelusuri rak-rak perpustakaan miniku, kembali mencari buku-buku yang ditulisnya. Tersenyum ketika sekilas membaca bukunya “La Tansa Male Café”, sebuah buku yang mengisahkan beberapa pemuda yang mencoba menjadi enterpreneur dengan merintis café yang hanya khusus diperuntukkan bagi kaum Adam. Menginspirasiku untuk suatu saat nanti memiliki usaha yang sama hanya bedanya café “mimpiku” dikhususkan untuk mereka yang cantik dan bukan yang tampan. Membuatku semangat untuk mengisi pundi-pundi berwujud buku saldo untuk mewujudkan mimpi yang masih berupa coretan hitam diatas putih itu.

Lalu terbawa haru ketika membaca kembali bukunya yang berjudul “Menjemput Bidadari”. Sebuah buku yang bercerita tentang seorang suami yang divonis menderita azzospermia, ketidakmampuan tubuh dalam menghasilkan sperma. Yang lalu kemudian mengikhlaskan sang istri tercinta untuk menikah lagi, merajut mimpi lagi akan lahirnya anak-anak yang lucu dari rahimnya sendiri dan bukan adopsi. Sedang ia sendiri menyiapkan diri untuk bertemu dengan Sang Maha Pecinta, menjadi syaheed dibumi yang berlumur darah para syuhada lainnya.

Begitu mengharu biru, begitu tulus, begitu indah mengalir ia menguraikan cerita. Tak jarang buku-bukunya mengubah paradigmaku berfikir, menciptakan bayangan indah pria sholih dengan keteduhan wajah yang kelak akan menghabiskan separuh hidupnya denganku. Dan memacuku untuk terus menaikkan kualitas diri sehingga pemilik tulang rusuk yang darinya kutercipta pun memiliki kualitas diri yang baik di hadapan Allah. Sebab pasangan hidup adalah refleksi dari diri pribadi, semakin baik kualitas diri maka semakin baiklah kualitasnya, sebaliknya semakin buruk kualitas diri maka semakin buruklah kualitasnya. Namun disisi lain tulisannya membuka tabir dibalik keindahan pernikahan itu sendiri, seperti ia menuliskan sebuah kisah tentang keegoisan suami yang menuntut sang istri memiliki keturunan yang banyak sedangkan kesehatan istri yang mengidap kelainan jantung tak memungkinnya untuk itu. Menyadarkan pembaca bahwa pernikahan tak selamanya indah bak dongeng negeri seberang. Dan bagaimana memecahkan permasalahan dengan tetap berada di koridorNya lah yang berusaha ia hadirkan disetiap tulisannya.

Kabar duka cita ini kembali menyadarkanku bahwa selama ini aku telah banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak perlu. Menghentakkan diriku cukup kuat bahwa kematian sesungguhnya lebih dekat dan pasti dibanding pernikahan atau hal masa depan lain yang belum pasti.

Membangunkanku dari tidur panjangku selama ini. Aku yang mungkin dulu lebih membuka telinga dan lebih peduli mendengar pendapat manusia tentangku dan menutup hati dan mengacuhkan pandangan Allah terhadapku. Aku benar-benar terbuai dengan pujian-pujian yang keluar dari mulut-mulut manis itu, yang tanpa kusadari membawaku melambung tinggi yang bukannya membuatku bersyukur malah membuatku menjadi mahkluk yang tinggi hati dan senang bersombong diri. Sedang kereta ini terus berjalan membawaku menuju terminal akhir depa demi depa hingga Izrail menyambutku dipintu kereta dan membawaku ke dunia lain, dunia yang abadi dimana tidak ada naungan selain naunganNya.

Dan terdengar suara-suara berbisik kepadaku namun cukup jelas untuk kupahami,
“Lalu apa yang selama ini kau cari, Maulida?”
“Apa yang kau kejar didunia?”

Hari ini aku belajar suatu hal tentang kehidupan, bahwa kehidupan hanyalah tempat untukku mengumpulkan bekal. Bekal yang dipersiapkan untuk perjalananku yang sesungguhnya bernama kematian. Yang bukanlah akhir dari perjalanan melainkan awal dariku melangkahkan kaki di tanah yang abadi bernama Akhirat.

Hari ini aku tersentak cukup hebat bahwa aku begitu dekat dengan kematian, suatu hal yang pasti dari apapun didunia dan aku takut bekalku belum cukup untuknya…



Maulida Hadry Sa’adillah Lie
Fii Ardhillah,Bumi Allah
17 Jumadi Tsani 1432 H/ 20 Mei 2011 M
Ketika aku merasakan aroma kematian itu begitu mewangi dibanding kesturi


2 comments: