Tulisan ini adalah tulisan yang sudah lama saya tulis dan publish di account facebook saya, semoga menjadi pengingat bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada umumnya..
Aku terdiam, kembali membaca kata-kata yang tertulis
dihadapanku, otakku berusaha mencerna, mengirimkan pesan-pesan yang dibaca
abstrak oleh hatiku. Benarkah? Nyatakah? Bahwa seorang penulis yang sangat
kukagumi telah meninggal dunia?
Seorang penulis yang selalu berhasil membuatku menangis
sesegukan setiap membaca karya-karyanya mengingatkanku dengan setumpuk dosa
yang telah kulakukan selama hidupku.
Seorang penulis yang selalu berhasil membuatku tersenyum
simpul malu karena terbawa angan memiliki seorang pendamping berwajah teduh
berhias wudhu padahal usiaku ketika itu barulah enam belas tahun.
Seorang penulis yang selalu berhasil membuatku terguguh,
menyadarkanku untuk selalu bersyukur bahwa Allah telah memberikanku segalanya
dan berhenti untuk menuntut.
Otakku kemudian memberi perintah untuk membuka laman salah
satu mesin pencari dunia maya, lalu mengetikkan sebuah kata kunci dan kulihat
sebuah judul artikel yang membuatku semakin yakin bahwa kabar itu benar adanya
“Nurul F Huda Menulis Hingga Detak Jantungnya Berhenti”. Disana tertulis bahwa
beliau meninggal akibat kelainan jantung yang telah beliau idap dari kecil dan
infeksi paru. Disana juga dituliskan sepenggal kutipan dari buku terakhirnya
yang akan turun cetak dengan judul yang seolah menjadi sinyal perpisahannya
“Hingga Detak Jantungku Berhenti”. Bercerita tentang bagaimana pisau bedah kecil
namun tajam itu merobek kulitnya, menyayat tepat dijantungnya, hingga bagaimana
jantungnya menyesuaikan diri dengan katup barunya yang kerap berbunyi
“Thik..Thik..Thik..” dan semakin menyeramkan bila terdengar dimalam hari.
Hanya membaca penggalannya saja telah mampu membawaku
kembali sadar bahwa begitu banyak nikmat yang telah Allah berikan kepadaku
selama ini, apalagi membaca seluruh tulisannya secara utuh. Tulisan yang
diprediksikan akan berhasil menguras air mata para pembacanya karena buku itu benar-benar
menggugah nurani yang selama ini lebih banyak mengeluh dan menuntut lebih,
daripada bersyukur.
Aku begitu terkejut dan sedih, Ummat hari ini telah
kehilangan salah satu penulis hebat yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk
bergumul bersama kertas dan pena atas nama cinta, atas nama dakwah. Namun
kemudian aku tersadar, Allah begitu mencintainya hingga Allah tak ingin menunda
pertemuan dengannya lebih lama lagi. Ketika sang kekasih telah bertemu dengan
Kekasih sejati lantas apa yang harus ditangisi?
Aku menelusuri rak-rak perpustakaan miniku, kembali mencari
buku-buku yang ditulisnya. Tersenyum ketika sekilas membaca bukunya “La Tansa
Male Café”, sebuah buku yang mengisahkan beberapa pemuda yang mencoba menjadi
enterpreneur dengan merintis café yang hanya khusus diperuntukkan bagi kaum
Adam. Menginspirasiku untuk suatu saat nanti memiliki usaha yang sama hanya
bedanya café “mimpiku” dikhususkan untuk mereka yang cantik dan bukan yang
tampan. Membuatku semangat untuk mengisi pundi-pundi berwujud buku saldo untuk
mewujudkan mimpi yang masih berupa coretan hitam diatas putih itu.
Lalu terbawa haru ketika membaca kembali bukunya yang
berjudul “Menjemput Bidadari”. Sebuah buku yang bercerita tentang seorang suami
yang divonis menderita azzospermia, ketidakmampuan tubuh dalam menghasilkan
sperma. Yang lalu kemudian mengikhlaskan sang istri tercinta untuk menikah
lagi, merajut mimpi lagi akan lahirnya anak-anak yang lucu dari rahimnya
sendiri dan bukan adopsi. Sedang ia sendiri menyiapkan diri untuk bertemu
dengan Sang Maha Pecinta, menjadi syaheed dibumi yang berlumur darah para
syuhada lainnya.
Begitu mengharu biru, begitu tulus, begitu indah mengalir ia
menguraikan cerita. Tak jarang buku-bukunya mengubah paradigmaku berfikir,
menciptakan bayangan indah pria sholih dengan keteduhan wajah yang kelak akan
menghabiskan separuh hidupnya denganku. Dan memacuku untuk terus menaikkan
kualitas diri sehingga pemilik tulang rusuk yang darinya kutercipta pun
memiliki kualitas diri yang baik di hadapan Allah. Sebab pasangan hidup adalah
refleksi dari diri pribadi, semakin baik kualitas diri maka semakin baiklah
kualitasnya, sebaliknya semakin buruk kualitas diri maka semakin buruklah
kualitasnya. Namun disisi lain tulisannya membuka tabir dibalik keindahan pernikahan
itu sendiri, seperti ia menuliskan sebuah kisah tentang keegoisan suami yang
menuntut sang istri memiliki keturunan yang banyak sedangkan kesehatan istri
yang mengidap kelainan jantung tak memungkinnya untuk itu. Menyadarkan pembaca
bahwa pernikahan tak selamanya indah bak dongeng negeri seberang. Dan bagaimana
memecahkan permasalahan dengan tetap berada di koridorNya lah yang berusaha ia
hadirkan disetiap tulisannya.
Kabar duka cita ini kembali menyadarkanku bahwa selama ini
aku telah banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak perlu.
Menghentakkan diriku cukup kuat bahwa kematian sesungguhnya lebih dekat dan
pasti dibanding pernikahan atau hal masa depan lain yang belum pasti.
Membangunkanku dari tidur panjangku selama ini. Aku yang mungkin
dulu lebih membuka telinga dan lebih peduli mendengar pendapat manusia
tentangku dan menutup hati dan mengacuhkan pandangan Allah terhadapku. Aku
benar-benar terbuai dengan pujian-pujian yang keluar dari mulut-mulut manis
itu, yang tanpa kusadari membawaku melambung tinggi yang bukannya membuatku
bersyukur malah membuatku menjadi mahkluk yang tinggi hati dan senang
bersombong diri. Sedang kereta ini terus berjalan membawaku menuju terminal
akhir depa demi depa hingga Izrail menyambutku dipintu kereta dan membawaku ke
dunia lain, dunia yang abadi dimana tidak ada naungan selain naunganNya.
Dan terdengar suara-suara berbisik kepadaku namun cukup
jelas untuk kupahami,
“Lalu apa yang selama ini kau cari, Maulida?”
“Apa yang kau kejar didunia?”
Hari ini aku belajar suatu hal tentang kehidupan, bahwa
kehidupan hanyalah tempat untukku mengumpulkan bekal. Bekal yang dipersiapkan
untuk perjalananku yang sesungguhnya bernama kematian. Yang bukanlah akhir dari
perjalanan melainkan awal dariku melangkahkan kaki di tanah yang abadi bernama
Akhirat.
Hari ini aku tersentak cukup hebat bahwa aku begitu dekat
dengan kematian, suatu hal yang pasti dari apapun didunia dan aku takut bekalku
belum cukup untuknya…
Maulida Hadry Sa’adillah Lie
Fii Ardhillah,Bumi Allah
17 Jumadi Tsani 1432 H/ 20 Mei 2011 M
Ketika aku merasakan aroma kematian itu begitu mewangi
dibanding kesturi
sungguh menginspirasi, luar biasa
ReplyDeleteTerima kasih sudah singgah, semoga bermanfaat yah :)
Delete