Monday, February 16, 2015

Wawancara Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) LPDP



 
Salam LPDP,  Para Calon Pemimpin Indonesia!


Sebenarnya saya tidak pernah berencana untuk menuliskan pengalaman saya melamar Beasiswa LPDP karena saya rasa sudah banyak tulisan dari awardee yang cukup mumpuni tersebar di internet. Namun, beberapa waktu belakangan teman-teman yang mengetahui saya lulus LPDP sering bertanya tips sukses meraih beasiswa LPDP. 

Tulisan ini akan saya fokuskan kepada sesi wawancara karena besok wawancara Beasiswa Reguler LPDP periode I tahun 2015 dimulai. Untuk proses administrasi mungkin jika saya ada waktu dan “mood” menulis akan saya share di post berikutnya. Namun, bagi yang ingin melihat contoh rencana studi dan essay saya atau ingin saya mengecek atau “proofread” rencana studi dan essaynya, bisa mencantumkan emailnya di kolom komentar artikel ini. In syaa Allah saya usahakan kirim feedback secepatnya. Semoga tulisan yang tidak seberapa ini bisa memberi sedikit “insight” kepada calon awardee. 

Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat karena anda telah lulus seleksi administrasi artinya satu tahap telah anda lewati. Wawancara LPDP sendiri berbeda-beda satu antara lainnya namun reviewer biasanya punya standar yang sama dalam penilaian. Berikut akan saya share pengalaman saya wawancara bulan Desember kemarin di Medan.

Wawancara LPDP terdiri dari dua bagian; LGD (Leaderless Group Discussion) dan Interview. Di LGD para peserta wawancara akan dibagi menjadi beberapa kelompok biasanya tiap kelompok berjumlah 5-6 orang (berdasarkan pengalaman saya). Pada saat LGD kita akan diberi sebuah artikel dan diberi waktu 30 menit untuk mendiskusikan masalah yang dibahas pada artikel tersebut beserta solusinya. LGD akan dinilai oleh seorang psikolog yang selama proses diskusi berlangsung hanya mengawasi dan mencatat sesuatu sambil senyam-senyum. Ini adalah bagian yang paling saya takutkan. Mengapa? Karena LGD bukanlah forum diskusi seperti Focus Group Discussion (FGD), namanya saja sudah LEADERLESS Group Discussion yaitu grup diskusi tanpa pemimpin. Dan saya selain karena sering berorganisasi dan tamatan hukum pula maka saya terbiasa mendominasi dan “langsung serang” jika sedang berdiskusi. Saya takut saya tidak bisa mengontrol diri dan kebablasan. Ternyata bukan saya saja yang khawatir. Salah satu peserta tamatan UI juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan saya. Takut tidak bisa mengontrol diri dan mendominasi. Alasannya? Dia Jurnalis dan orang organisasi. Haha. 

Kebetulan saya dan kenalan saya ini satu grup diskusi, sebelum diskusi dimulai kita sudah berjanji satu sama lain untuk duduk bersebelahan agar bisa saling mengingatkan kalau salah satu dari kita lepas kendali haha. Ternyata duduknya diatur berdasarkan nama, mungkin agar si ibu psikolog lebih mudah memberi penilaian. Jadi tempat duduk saya berselang satu kursi dari tempat duduknya. Pada saat LGD berlangsung secara tidak sengaja teman saya ini menjadi moderator padahal dia berniat tidak mau memoderatori jalannya diskusi. Lagi-lagi karena takut mendominasi. Menurut pendapat saya pribadi, dia cukup baik sebagai moderator dan juga tidak mendominasi. Kalau saya, selama LGD berusaha sekeras mungkin menahan diri untuk tidak menyanggah pendapat yang lain meski menurut saya ada yang salah dan merasa “gatal” untuk mengoreksi. Saya hanya berbicara ketika saya yakin semuanya sudah mendapat giliran menyampaikan pendapatnya. Dan jika saya tidak setuju maka saya akan berusaha berdiplomasi agar kedengarannya tidak nyelekit hehe. Dan Alhamdulillah, saya dan teman saya lulus wawancara LPDP.

Tahap berikutnya adalah interview. Dikarenakan jumlah peserta yang lumayan banyak maka wawancara dibagi dua hari. Saya sebenarnya kebagian jatah interview di hari kedua namun dikarenakan dua orang ada yang tidak hadir maka saya mengajukan diri di interview hari itu juga. Biar deg-degannya sekalian, begitu fikir saya. Sebenarnya saya termasuk nekat, karena saya tidak melakukan persiapan apapun untuk interview. Rencana saya setelah pulang LGD baru saya pelajari rencana studi dan essay saya. Dan karena saya apply LPDP itu dadakan, saya baru tahu mengenai LPDP secara detil pada malam tanggal 17 November 2014. Ketika saya cek website LPDP dijelaskan deadline 19 November. Lalu, saya fikir ya sudah coba saja dulu, nothing to lose. Akhirnya, besoknya tanggal 18 November, saya ke kampus untuk minta surat rekomendasi dari dekan dan malam sebelum deadline ditutup saya bergadang mengisi formulir, menulis dua essay (700 kata per essay) dan rencana studi (700 kata) dan baru selesai pukul 09.00  pagi. Alhamdulillah berkas lain yang diperlukan sudah ada walhasil tinggal discan dan diupload. 10.00 WIB tanggal 19 November (yah, yah hari terakhir deadline) aplikasi saya berhasil di submit, Alhamdulillah.

Lanjut mengenai wawancara, karena jadwal saya dimajukan maka saya dapat giliran terakhir. Ada 3 kelompok interview dengan masing-masing kelompok interview terdiri dari tiga reviewer yaitu satu orang psikolog dan dua orang professor. Saya kebagian kelompok interview 3. Sebelum interview saya mencoba sedikit “kepo” dan bertanya sana-sini kepada yang sudah lebih dulu di interview. Dengar-dengar rumor tim kelompok 3 itu reviewernya paling baik-baik dan tidak seram seperti kelompok 1 dan 2. Dan saya lihat hampir semua dari kelompok 1 dan 2 keluar dalam keadaan muka lesuh dan bahkan ada yang menangis. Kalau teman dekat saya di PCMI, alumni Pertukaran ke Korea, satu-satunya dari kelompok 2 yang keluar dengan wajah sumringah dan dia juga lulus LPDP. She is indeed in a different league, haha.

Tibalah saat saya di interview, saya masuk keruangan, dalam satu ruangan tersebut ada 3 kelompok interview. Kelompok interview saya satu-satunya kelompok interview yang semua reviewernya adalah bapak-bapak. Yang lain terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak. Lalu saya langsung teringat teman dekat saya yang kuliah di psikologi USU, pernah bilang kalau dosen pembimbingnya merupakan salah satu interviewer LPDP. Langsung saya tebak, ini pasti dosen pembimbing teman saya. Dengar rumor dari teman, karena beliau tamatan luar jadi pemikirannya terbuka dan orangnya asik. Dua professor lain berasal dari Jakarta (sepertinya UI) dan Jawa (kurang tahu daerah dan uninya secara spesifik).

Begitu masuk, saya langsung menyalami bapak-bapak tersebut yang hampir seusia ayah saya bahkan sepertinya lebih tua kecuali bapak psikolog yang sedikit lebih muda. Salamnya seperti salam ke orang tua saya sendiri, ditaruh dikening. Kebiasaan saya kalau salam orang yang jauh lebih tua dari saya hehe.

Berikutnya interview saya akan saya buat dalam bentuk percakapan :

Reviewer Psikolog (RPsi) : “Ok, Please introduce yourself and your family!” (Dengar-dengar introduction selalu bahasa inggris biasanya, tapi interview selanjutnya akan dalam bahasa Indonesia, atau fifty-fifty. Tapi kasus saya dari awal hingga akhir dengan bahasa inggris, dan ketika itu hanya saya yang full di interview bahasa inggris T.T)

Me : First, I would like to thank LPDP and the reviewers for giving me an opportunity . I’m Maulida Hadry Sa’adillah, graduated from Faculty of Law, University of Sumatera Utara, 2013. During my study period I studied almost all fields of jurisprudence but in semester six I focused on International Law in which I discovered my passion for the law of the sea, maritime boundary dispute to be particular. My mother is a lecturer and so is my father but due to his kidney failure he has been taking a break for a year now but still working at his office as a public accountant two days a week. My eldest sister is a doctor, still doing her internship at the hospital in a remote village in Aceh. My second sister is still studying psychology in Riau, happily married and has a baby. I’m the third, and my youngest brother is still studying law at USU.

RPsi : “You have a British accent. Where did you learn English?” (Ketika ditanya begitu baru saya sadar aksen saya belakangan ini berubah menjadi British accent, karena sebelumnya aksen saya American dan setelah balik dari Australia aksen saya jadi Australian. Beberapa waktu yang lalu, teman native saya bilang aksen saya itu campuran Amerika dan Australia -,-)

Me : “Self-study, Sir. I learned autonomously, though I acquired my accent naturally after intensively talking with my native friends or simply just by watching movies, Sir."

RPsi : “Autodidact? Wow, Okey. (Teman saya kemarin baru bertemu dengan si bapak psikolog ini di kampus dan si bapak cerita ke teman saya kalau beliau tidak percaya saya belajar secara otodidak karena aksen saya yang sangat British, haha ^^) Then, you are planning to take Master Degree in Public International Law (PIL) at Leiden University, right? Why do you choose Leiden?" 

Me : I choose Leiden University for some reasons, Sir. First, Leiden’s rank is 1st in Netherlands and 74th in the world. And its law faculty is one of the best law schools in the world. Leiden Law School located in two cities, Leiden and The Hague, The Hague often referred to as The City of Peace and Justice or The Legal Capital of The World. There are many international institutions located in The Hague, such as International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court (ICC) and other international tribunals. Leiden offers its law students with its combined program with Grotius Center for Legal Studies a great opportunity to have a discussion, face to face with the honorable judges from both ICC and ICJ, an opportunity which can’t be found in any other institutions but Leiden. To be able to study Public International Law at the school where Hugo Grotius, the Founding Father of International Law, acquired his knowledge from has always been my dream. (Saya menjelaskan ini dengan mudah karena ini adalah alasan yang saya tulis di rencana studi saya, jadi secara otomatis sudah terhapal di luar kepala, hehe).

RPsi : Hmm, Master of Laws in Law, Specialization on Public International Law, LL.M. Hmm…Is it an eleven month program? 

Me : It’s a year, Sir.

RPsi : “Ah, setahu saya LL.M ini kalau setahun durasinya 11 bulan (tiba-tiba si bapak psikolog pakai bahasa Indonesia) Kalau begitu ga bisa, LPDP ga mau biayain kalau Cuma 11 bulan, syaratnya minimal satu tahun.

Saya keburu terbengong bego, jadi agak kagok tapi akhirnya saya bilang itu 1 tahun 12 bulan, bukan 11 bulan.

RPsi : Betul 12 bulan? Mana coba buktinya? Give me the evidence!

Me : “On its website, Sir” *dengan nada memelas, sudah takut duluan tidak diluluskan karena durasi program, hiks

Lalu tiba-tiba professor disebelah beliau yang dari tadi hanya memperhatikan percakapan saya dengan bapak psikolog angkat bicara 

RProf1 : “Yah, sudah kalau di Leiden ga bisa, dia kan bisa pilih uni lain”

Saya dalam hati teriak “Yes, Thanks Professor, you are the best” Haha.

Untung saja di rencana studi, saya ada cantumkan durasi program dan memang disitu 1 tahun itu dua belas bulan, full-time. Barulah si bapak psikolog tidak menodong saya lagi minta bukti hehe.

RProf1 : “Ok, Are you married?”

Me : “No, Sir. Not Yet”
(Sebelum saya ada peserta wawancara dikelompok yang sama dengan saya ditanya pertanyaan ini dengan reviewer lalu dia ditanya bermacam-macam seperti “Nanti kalau kamu disana jatuh cinta sama orang luar dan ga mau balik ke Indonesia, gimana?” Dan skenario-skenario imajinasi lainnya mengenai pernikahan dengan orang luar. Saya fikir saya bakal ditanya hal yang sama ketika si bapak professor 1 bertanya saya sudah menikah atau belum, eh ternyata beliau tidak melanjutkan. Kenapa yah? Saya dengar  dan baca di internet peserta perempuan banyak yang ditanya begitu. Mungkin bapak itu melihat saya tidak ada niat nikah dalam waktu dekat atau semacamnya, jadi beliau mungkin berfikir tidak usah capek-capek dilanjutkan hahaha)

RProf1 : “Maulida. Now, tell us why do you want to study Public International Law?”

Me : “Indonesia has a shortage of International Law experts. When I was a chief of International Law Student Association in my faculty, I noted that there were only 52 out of 550 law students in my batch who chose International Law as their specialization in semester six. 498 students preferred Civil Law, Criminal Law and Economic Law. Most of law students or even legal professionals in Indonesia tend to think that International Law has only limited fields and prospect jobs. This wrong perception leads to a great loss to Indonesia. Indonesia as the largest archipelagic country in the world needs international law experts especially in maritime boundaries in order to preserve its island from being stolen and to preserve its sovereignty. Also to avoid the same lose when Indonesia lost against Malaysia over Sipadan and Ligitan in ICJ, 2002. For those reasons, I would like to pursue my further study in Public International Law.” (Dalam hati yes, ini juga saya tulis di rencana studi hehe) 

Saya sambil menjelaskan sambil melihat reaksi bapak-bapak reviewer, dan si bapak psikolog selalu mengangguk-angguk sepanjang saya menjelaskan. Melihat ini membuat saya semakin yakin dan percaya diri, meski tidak tahu itu taktik si bapak psikolog untuk memancing saya biar lebih kelihatan karakter saya  atau bagaimana haha.

Lalu si bapak psikolog dan si bapak professor 1 menanyakan organisasi saya. Di aplikasi saya mencantumkan sekitar belasan organisasi yang saya ikuti dari SMA hingga Universitas. Mereka hanya bertanya mengenai organisasi di Universitas. 

Lalu pertanyaan berikutnya adalah rencana pasca study.

RPsi : What is your plan after completing your study?”

Me : “I have some plans in mind, but I will try to highlight the most important ones. First, I aspire to become an International Lawyer specialized in maritime boundary dispute. Then, I would like to share my knowledge to my academic fellow and to give socialization to Indonesian law students about the importance of international law as a tool to protect our national interest. Or, I might join in government institutions related to my major. And, I also would like to take PhD after completing my master."

RPsi : “So, are you going to become a consultant for private company?”

Me : “No, Of course not, Sir. If I wanted to work as a legal consultant for a private company, then I would take international business law instead of public international law. But I choose Public International Law, and I’d love to take my PhD afterwards in hopes that I can obtain a more comprehensive and in-depth knowledge of The Law of The Sea. And as I’ve explained in my study plan one of the reasons I want to take PIL and Law of The Sea because I was so disappointed with our government..” (belum selesai saya menjelaskan sudah dipotong si bapak psikolog)

RPsi : “Which government?”

Me : “Well, sir. Since maritime boundary dispute isn’t solely one government institution’s responsibility, it involves more than one institution. Our government in the past didn’t pay much attention to our maritime; they let our outer islands vacant. There was no significant effort to protect our outer Islands. At the end, we lost our right over Sipadan and Ligitan. But, I realized something, that if I just sit back and do nothing, I won’t change a thing. Then instead of blaming the government, I personally commit myself to contributing to Indonesia by becoming one of experts in this field in hopes of no more lost cases concerning maritime delimitation in the future."

Bapak psikolog terus mengangguk-angguk. Lalu bapak professor 1 mengatakan bahwa di Jakarta sendiri banyak sekali orang-orang berpengetahuan luas namun setelah mereka pulang dari menuntut ilmu di luar dan kembali ke Indonesia, mereka secara otomatis terikut sistem yang ada. Sistem rusak yang telah mendarah daging di Indonesia. Beliau bilang pada akhirnya sekolah mereka di luar seperti sia-sia. Lalu beliau bertanya bagaimana kalau saya juga begitu. 

Mendengar pernyataan dan pertanyaan beliau saya langsung berkata dalam hati “wah, pertanyaan menjebak nih”. Lalu saya jawab dengan singkat kalau menurut saya itu tergantung pribadi masing-masing. Saya yakin kalau seseorang bertekad kuat pasti tidak akan terikut sistem. 

Lalu si bapak professor menyanggah pernyataan saya lagi. Beliau tidak setuju kalau itu tergantung masing-masing. Beliau mengatakan sudah banyak yang beliau lihat pada akhirnya terikut sistem. Dan beliau mengatakan sistem itu besar dan sulit bahkan tidak mungkin untuk dirubah.

Lalu saya jawab sambil tersenyum :

“Yes, Sir. I do believe it would be hard for me as well. But there is a saying that goes “Do not change the world, but change yourself”. So I’m not going to change the world since the world is too big for me to change. But I would change my own self since I believe if I change myself I will bring positiveness to my surroundings and perhaps people will start doing the same, and the world will change itself.”

Dan si bapak psikolog sekali lagi saya lihat terus mengangguk-angguk selama saya menyampaikan pendapat saya, haha. Lalu si bapak professor 1 mengatakan kepada saya kalau beliau mendoakan agar saya dapat mempertahankan prinsip tersebut dan tidak terikut sistem yang bobrok meski saya telah kembali pulang ke Indonesia. Saya jawab berulang kali “Aamin, Aamin, Aamin. Thank You, Sir”. Lalu si bapak professor 1 melirik ke si bapak psikolog dan bilang “It’s enough from me, more questions?” Si bapak psikolog menggeleng. Lalu tiba-tiba si bapak professor 2 yang dari tadi diam memperhatikan saya dan sibuk membaca aplikasi saya di laptop bertanya. Saya hampir lupa dengan keberadaan bapak professor yang satu ini karena keasikan diskusi dengan si bapak psikolog dan si bapak professor 1. 

Beliau bertanya dalam bahasa Indonesia dengan sangat lembut :

RProf 2 : “Sudah ada kontak dengan universitas?”

Me : “Sudah Pak”

RProf2 : “Leiden ini bagus loh hukumnya, nanti kamu setelah S2 langsung S3 saja, tidak usah balik dulu ke Indonesia. Sayang kan kalau tidak langsung lanjut S3.”

Saya hanya senyum bingung mau jawab apa, maunya saya sih saya iyakan tapi takut ini jebakan batman karena yang saya dengar kan LPDP harus balik ke Indonesia selesai studi. Nanti kalau saya iyakan berarti saya tidak mau balik dulu, takutnya malah tidak diluluskan. Dilema haha. Ternyata baru-baru ini saya dapat info dari teman yang sudah PK (Persiapan Keberangkatan) LPDP, dia bilang kalau Awardee LPDP setelah S2, sudah bisa lanjut S3 tanpa ada seleksi lagi dari LPDP dengan syarat IPK mencukupi dan ada proposal penelitian. Jadi semacam garansi, kalau lulus LPDP magister in syaa Allah dapat garansi juga akan dibiayain untuk S3. Wah, ternyata apa yang dibilang si bapak professor bukan jebakan batman. Hehe.

Setelah pertanyaan tersebut saya dipersilahkan untuk meninggalkan ruangan. Alhamdulillah interview 1 jam pun tidak terasa. Alhamdulillah reviewernya baik dan ramah, kelihatan beliau-beliau professor yang sangat berwibawa dan berwawasan luas. 

Begitulah ringkasan interview saya. Pengalaman setiap orang bisa berbeda-beda. Namun tips saya adalah kuasain rencana studi, karena interview saya hanya seputar rencana studi. Jurusan, Universitas yang dituju, Negara yang dituju, pasca rencana studi dan mungkin pertanyaan menjebak seperti pertanyaan mengenai sistem yang ditanyakan ke saya kemarin. Intinya jadilah diri sendiri, selama di interview kita tidak bisa berbohong karena mereka akan membongkar habis-habisan apa yang kita tulis di aplikasi, apalagi ada si ibu dan bapak psikolog yang dengan senyum dan catatannya menilai karakter kita. 

Dan yang terakhir pastilah berdoa, sebelum masuk ruangan saya berulang kali melafalkan doa yang dilafalkan nabi Musa ketika beliau ingin mengajak Fir’aun masuk Islam :

(Rabbi Sharli Sadri wa yassirli amri wahlul uqdatan mil-lisaani yafqahu qawli)
.
"...O my Sustainer! Open up my heart [to Thy light], and make my task easy for me, and loosen the knot from my tongue so that they might fully understand my speech"
Surah Taha, 20:25-28



Selamat Seleksi BPI LPDP, semoga sukses selalu !

Salam LPDP,

Maulida Hadry Sa’adillah