Thursday, July 11, 2019

Diary of Diplomat's Wife : Bertumbuh di New York City

Sudah hampir setahun kami sekeluarga tinggal di New York City sejak penugasan suami awal Agustus 2018 lalu. Kota yang disebut tak pernah tidur ini menjadi saksi bertumbuhnya keluarga kami. Keluar dari zona nyaman masing-masing. Ketika meninggalkan tanah air, anak kedua kami baru berusia 3 bulan, kecil sekali ia sudah terbang 16,167km dengan durasi perjalanan dua hari di udara. 

Awal-awal adaptasi sungguh berat. Perbedaan waktu 12 jam, mencari tempat tinggal 3 tahun kedepan, mengurus rumah, suami dan dua anak yang masih kecil tanpa asisten rumah tangga. Kehidupan di Jakarta dulu sepertinya telah memanjakan kami, asisten rumah tangga 24 jam, go-jek, penjual aneka makanan di simpang rumah, segala kemudahan fasilitas untuk keluarga muda tersedia di ibu kota.

Tapi disinilah ternyata keluarga kami bertumbuh. Disini kami diajarkan untuk lebih kuat dan saling mendukung satu sama lain. Suami tidak pernah mengeluh mengulurkan tangan membersihkan rumah sehabis pulang kerja. Setibanya dirumah ia langsung melepas sepatu dan jasnya, masih menggunakan kemeja kerja dan dasi, tangannya sudah ringan membersihkan mainan anak-anak dan menyapu rumah. Saya pun tidak pernah menyangka bisa memasak berbagai panganan indonesia, mulai dari mie ayam, ketoprak, gulai kepala ikan, rendang, bahkan berbagai makanan internasional seperti steak yang rasa dan teksturnya mirip dengan yang di restaurant. Dulu, masuk dapur saja hanya untuk masak MPASI anak pertama kami. Meski selalu mengandalkan resep dari google, setidaknya rasanya cukup membuat suami memuji berkali-kali.

New York City pada dasarnya seperti kota yang menampung banyak mimpi orang-orang. Gedung-gedung tinggi di Manhattan menawarkan berbagai opportunities dan hiburan bagi siapa saja yang datang. Namun, menjadi Ibu dari dua orang anak yang masih kecil tanpa asisten di rumah tampaknya bukanlah opsi yang tepat untuk juggling di antara gedung-gedung tinggi Manhattan seorang diri. 

Sebenarnya bisa saja, jika mau berurusan dengan fasilitas publik yang tidak family friendly. Berbeda dengan Belanda atau negara maju di Eropa yang pada umumnya menyediakan moda transportasi ramah anak. New York City punya cara yang membuat para orang tua dengan lebih dari satu anak kecil mengurungkan niatnya berpergian dengan transportasi umum. Sebut saja disini, stroller sebelum masuk kedalam bus harus dilipat dan ditaruh dibawah kursi. Bayangkan, jika membawa dua anak kecil seperti saya dengan tandem stroller. Pernah dulu ketika awal kedatangan kesini kami tidak tahu peraturan tersebut, supir bus yang juga seorang perempuan memarahi kami dengan nada tinggi untuk melipat stroller sebelum masuk kedalam bus. Benar saja, itu adalah kali pertama dan terakhir kami naik bus. Stasiun Subway pun tak jauh berbeda. 

Percayakah jika saya katakan stasiun Subway di New York City jauh lebih kotor dibanding stasiun kereta di Jakarta? Dimana-dimana bau pesing, terutama lift, kami harus menahan napas setiap kali memakai lift stasiun subway, tapi bagaimana lagi kami tidak punya opsi untuk menggunakan tangga karena membawa tandem stroller. Tidak semua stasiun Subway menyediakan lift, hampir semuanya merupakan lobang-lobang subway yang menggunakan tangga. Maka, untuk Ibu dari dua anak kecil, opsi berpergian menggunakan moda transportasi umum bukanlah pilihan yang bijak. 

Kenapa tidak menyetir mobil sendiri saja? Sayangnya dulu saya sempat belajar menyetir manual di Indonesia, tapi tidak pernah membuat SIM, jadilah disini saya tidak bisa mendapatkan SIM negara setempat.  Bagaimana dengan naik uber? Nah, uber bisa menjadi salah satu opsi tapi mungkin tidak bisa sering-sering digunakan karena harganya juga cukup mahal. Jangan disamakan dengan harga uber di Indonesia, disini sekali jalan misal dari Queens ke Manhattan jika dirupiahkan bisa mencapai hampir sejuta. Maka, opsi yang bijak adalah pergi dengan suami setiap weekend menggunakan mobil pribadi kami. Selain lebih aman dan nyaman, ada bantuan tangan lain yang memegang anak. Sesekali juga jika suami bekerja dan saya mau berpergian ke suatu tempat/acara ada teman-teman baik hati yang bisa membantu menggotong-gotong stroller dan bergantian menggendong si kecil. 

Tinggal di kota dengan populasi terpadat di Amerika memang merupakan tantangan tersendiri. Namun, tiap tempat ada kelebihan dan kekurangannya. Hal yang paling saya sukai dari New York City adalah keragaman yang ditawarkan. Hampir seluruh warga negara dari berbagai negara di dunia dapat ditemui di sini. Tak heran jika New York City dijuluki sebagai Ibu Kota Budaya, Finansial dan Media se-dunia. Having said that, New York City bukanlah kota dengan penduduk yang ramah. Berbeda dengan Belanda yang meninggalkan kesan yang sangat dalam di hati saya dengan penduduk yang ramah  dan senang membantu. Di sini adalah pemandangan yang biasa menghadapi kasir yang jutek, pegawai toko yang membentak customer, namun anehnya mereka punya kebiasaan menegur dan menanyakan kabar meski memang lebih kepada basa-basi dan kebiasaan setempat. Jadi tak heran jika kasir di sebuah toko bertanya "Hi, how are you today?" dengan kepala menunduk tidak melihat pembelinya sama sekali. Biasanya si customer pun akan menjawab sekedar.

Begitulah sekilas kehidupan di New York City di mata saya. Semoga dalam waktu dekat keadaan semakin membaik, keluarga kecil kami saat ini masih beradaptasi, jauh dari tanah air, jauh dari sanak saudara. Semoga Allah selalu melindungi langkah-langkah kaki kami di negeri Paman Sam ini. Selanjutnya insyaAllah saya akan rutin membagikan tulisan mengenai kehidupan kami di New York City. Seringkali apa yang kita lihat dari luar tak selamanya indah. Yang paling penting dalam menjalani kehidupan adalah mensyukuri apa yang kita punya saat ini.

    Image Source : harpersbazaar.com


New York, 
July 10, 2019


Sunday, March 20, 2016

Happy 26th, My Dearest Husband..

Assalamualaikum suamiku,

Hari ini genap usiamu 26 tahun. Hari ini adalah ulang tahunmu yang pertama setelah statusmu berubah menjadi seorang suami. Sayang aku tidak bisa melewatinya disisimu saat ini, untuk sekedar mencium tanganmu dan mengucapkan selamat ulang tahun atau sekedar menikmati makan malam yang mungkin lebih spesial dari biasanya bersamamu. Namun, kau tahu bukan bahwa doa-doaku tak pernah berhenti kupanjatkan untukmu. Tidak hanya di ulang tahunmu, namun di setiap sujud panjangku.

Hari ini aku ingin sekali rasanya memeluk mama dan mengatakan terima kasih karena telah melahirkan seorang anak sepertimu. Ingin sekali aku memberikan salam takzim kepada buya karena telah membesarkan seorang pemuda sepertimu. Mereka tidak hanya membentukmu menjadi pribadi yang dijadikan panutan banyak orang saat ini, namun mereka juga mendidikmu menjadi seorang laki-laki yang kukagumi dan kuhormati sebagai suami.

Suamiku, kau tahu, aku ingin anak-anak kita tumbuh sepertimu, aku ingin mereka mencontoh kesholihanmu, kesabaranmu, kelembutanmu, ketegasanmu, kebijaksanaanmu, kecerdasanmu, kearifanmu, dan seluruh kebaikan-kebaikan yang kau punya. Setiap hari, aku ingin mengatakan kepada anak-anak kita, betapa bersyukurnya ibu mereka menikahi ayah mereka. Agar mereka tahu betapa hebatnya engkau dimataku, betapa aku sangat mengagumi, menghormati dan mencintaimu.

Suamiku, maafkan aku karena tidak bisa memberikan apa-apa kepadamu. Yang bisa kuberikan hanyalah pundak yang bisa kau sandarkan ketika kau lelah dan penat setelah seharian bekerja. Pelukkan ketika kau merasa sedih, tangan yang bisa kau genggam ketika kau butuh pegangan. Telinga untuk mendengarkan segala keluh kesahmu, opinimu tentang hukum dan politik, atau cerita serumu tentang klub sepak bola favoritmu meski aku tidak mengerti sama sekali tentang dunia per-bola-an. Waktu untuk melayanimu dan merawat anak-anak kita. Mimpi-mimpi yang rela kulepaskan demi mendukungmu mewujudkan mimpi-mimpimu yang lebih besar. Karena sesungguhnya mimpi-mimpimu adalah mimpi-mimpiku juga.

Suamiku, BarakAllah fii Umurik.. Semoga Allah memberkahi umurmu, meridhoi setiap langkahmu, menjagamu dimanapun kau berada, memudahkanmu dalam meraih mimpi-mimpimu, melindungimu dari perbuatan yang tidak baik, menjadikanmu pribadi yang lebih baik lagi, sebagai anak, adik, abang, suami dan ayah bagi anak-anak kita kelak. Dan semoga Allah menjadikan cinta kita kekal hingga ke surgaNya.. Aamin yaa Rabbal'alamin..

Selamat ulang tahun, sayang.. Thank you for being born into this world.. I love you.. :)


The Hague, 20 Maret 2016


Source : Google


Thursday, March 10, 2016

And We Created You in Pairs (Part I)

"50.000 years before the sky was introduced to the sea, Allah Azza Wajjal wrote down your name next to me..."


Hey, sudah setahun ternyata saya tidak menulis postingan di blog saya ini. And I know this time is not the best time to write, to be honest. I have an oral exam on Friday and my brain hasn't been fully equipped yet with sufficient knowledge about War Crime and ICC Jurisdiction. But, they say the best time to write is when your inspiration flows regardless, it is "lawful" or not to put aside your books for awhile :P

Sudah setengah tahun saya menjalani perkuliahan di negara kincir angin, dulu niatnya akan update postingan selama kuliah di blog, tapi apa mau dikata, rencana tinggal rencana. Waktu kuliah yang super padat, tugas dan ujian yang saling kejar-kejaran membuat saya lupa kalau saya punya blog yang sudah lama ditelantarkan, hehe.

Enam bulan ini perubahan signifikan pada hidup saya tidak hanya mengenai pindah ke negara lain untuk sekolah lagi, namun juga perubahan status saya yang sebelum berangkat ke Belanda single, sekarang sudah menikah. Whattt?!! Yup, kamu heran? saya juga kok XD

Banyak yang terkejut ketika saya mengundang teman-teman lewat akun media sosial, "ini anak ga pernah keliatan gandengan, ga pernah jalan sama cowok, kok tiba-tiba nikah aja?" hehe ini tanggapan banyak orang ketika itu. Lucu memang, tiba-tiba banyak yang mulai pingin tahu atau bahasa gaulnya "kepo" tentang pertemuan saya dengan suami. Well, mereka sebenarnya lebih pingin tahu karena suami saya dan bukan saya hahaha.

Saya sempat iseng bertanya ke suami "Bang, cerita kita ade tulis novel yah?", saya kira suami bakal ogah, karena suami bukan tipe yang suka mem"boast" kehidupan pribadinya, palingan hanya akademik dan organisasi. Eh ternyata tanggapannya "Mau? boleh, tapi jangan terlalu detail". Dapat lampu hijau meski ujungnya tetap diwanti "jangan terlalu detail" :D

Penasaran tentang saya dan suami ini kebanyakan datang dari orang-orang yang "mengagumi" sosok suami saya, menjelang nikah permintaan pertemanan di facebook saya meningkat drastis, tiba-tiba inbox banjir dengan message dari orang-orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Isinya alhamdulillah positif, tapi terkadang saya suka tertawa sendiri membacanya, beberapa message isinya mereka "ikhlas dan mendukung" saya menikah dengan suami, seperti dukungan pemilihan presiden saja. Tapi saya bersyukur, karena banyak orang-orang yang mendoakan pernikahan kami, terima kasih buat yang sudah mendoakan :)

Banyak yang mengira pernikahan kami direncanakan jauh-jauh hari bahkan sebelum keberangkatan saya ke Belanda. Kalau itu salah besar, ketika saya ke Belanda di fikiran saya cuma satu "kuliah", nikah sama sekali tidak difikiran, hlah gimana mau difikirkan kalau calon saja saya belum punya waktu itu haha.

Tapi bukankah rencana Allah selalu lebih baik dari rencana kita? Sehingga pada 10 Januari 2016, saya dan suami mengikatkan perjanjian suci seberat perjanjian para nabi, Mitsaqan Ghalizhan. Apakah kami pacaran? Tidak, saya dan suami punya prinsip yang sama sebelum menikah, yaitu kami tidak pernah dan mau pacaran. Apakah kami sering bertemu? Tidak juga, karena saya berada di benua Eropa dan suami di benua Australia, 16.709km jarak antara The Hague dan Wollongong. Lalu bagaimana bisa? Itulah rencana Allah, "Innama amruhu idza arada syaian an yaqula lahu kun fayakun" (Sesungguhnya urusanNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya "Jadilah!" maka jadilah ia)

Lalu bagaimana pertemuan saya dengan suami? Ah, itu saya simpan saja untuk novel nantinya hehe. But some clues, won't harm anyone right? ;). Saya dan suami satu almamater di kampus, FH USU. Apakah cinta bersemi di kampus? Tidak juga. Karena suami saya meski seumuran tapi angkatannya 4 tahun diatas saya. Yes, he was not your average neighbor kids who started going to college after their 18th birthday. He legally "occupied" his seat at law faculty when he was 15 and finished his study when he was 18, jaw-dropping? yup, even for me, haha.

Hanya butuh waktu 2 bulan untuk kami berdua memutuskan untuk menikah, namun kami sudah kenal sejak lama, 5 tahun. Tapi, that's it, hanya sebatas kenal. Siapa yang tidak kenal dengan mahasiswa legendaris kebanggaan almamater FH USU, nama suami tidak pernah absen didengung-dengungkan dekan dan para dosen di setiap ospek, perkenalan musholla bahkan di kelas-kelas. More clues? He is my first love. Saya tidak pernah jatuh cinta dengan siapapun selain dengan suami, so what is more beautiful than marrying your first love? :)

Hal yang paling tidak akan saya lupakan seumur hidup adalah ketika suami mengajak untuk menikah. Perbedaan waktu sempat membuat kami "berdebat" terkait penetapan "waktu spesial" karena ketika itu di Australia sudah tanggal 31 Oktober 2015 sedangkan di Belanda masih tanggal 30 Oktober 2015, haha. Tapi yang berkesan bukan di perbedaan waktunya, namun bagaimana suami mengajak untuk menikah. Bagaimana detailnya? Itu rahasia, yang pasti suami yang biasa public speaking di hadapan orang banyak, prominent people bahkan di televisi dengan gaya khasnya yang sangat confident dan lugas tiba-tiba menjadi terbata-bata, gugup bahkan harus minum berkali-kali, haha. Maaf abang, but this is the only weapon I have, to "bully" you :p

"Setelah dari orang tua, kakak dan adik-adik tidak ada masalah dan setelah sholat istikharah selama 2 minggu..." Itu adalah sepenggal "introduction of his proposal" bahkan cara menyampaikannya seperti rapat di organisasi !! Oh my dear husband.. XD

Long story short, akhirnya persiapan pernikahan dimulai, ketika itu saya lagi menghadapi banyak ujian dan tugas, dan harus menyiapkan pernikahan dari Belanda dengan posisi suami di Australia, orang tua saya di Medan dan orang tua suami di Jakarta. Can you imagine how chaotic the communication was? Tapi, alhamdulillah jika niat baik maka semua akan dimudahkan oleh Allah, hingga pada hari yang ditentukan, di pagi yang cerah, di Mesjid Raya Medan, saya dan suami resmi menjadi pasangan suami istri.. "Fabi Ayyi Ala Irabbikuma Tukadziban.." (Maka Nikmat dari Tuhanmu yang Manakah yang Engkau Dustakan?)







To be continued...

The Hague, 10 Maret 2016



Monday, February 16, 2015

Wawancara Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) LPDP



 
Salam LPDP,  Para Calon Pemimpin Indonesia!


Sebenarnya saya tidak pernah berencana untuk menuliskan pengalaman saya melamar Beasiswa LPDP karena saya rasa sudah banyak tulisan dari awardee yang cukup mumpuni tersebar di internet. Namun, beberapa waktu belakangan teman-teman yang mengetahui saya lulus LPDP sering bertanya tips sukses meraih beasiswa LPDP. 

Tulisan ini akan saya fokuskan kepada sesi wawancara karena besok wawancara Beasiswa Reguler LPDP periode I tahun 2015 dimulai. Untuk proses administrasi mungkin jika saya ada waktu dan “mood” menulis akan saya share di post berikutnya. Namun, bagi yang ingin melihat contoh rencana studi dan essay saya atau ingin saya mengecek atau “proofread” rencana studi dan essaynya, bisa mencantumkan emailnya di kolom komentar artikel ini. In syaa Allah saya usahakan kirim feedback secepatnya. Semoga tulisan yang tidak seberapa ini bisa memberi sedikit “insight” kepada calon awardee. 

Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat karena anda telah lulus seleksi administrasi artinya satu tahap telah anda lewati. Wawancara LPDP sendiri berbeda-beda satu antara lainnya namun reviewer biasanya punya standar yang sama dalam penilaian. Berikut akan saya share pengalaman saya wawancara bulan Desember kemarin di Medan.

Wawancara LPDP terdiri dari dua bagian; LGD (Leaderless Group Discussion) dan Interview. Di LGD para peserta wawancara akan dibagi menjadi beberapa kelompok biasanya tiap kelompok berjumlah 5-6 orang (berdasarkan pengalaman saya). Pada saat LGD kita akan diberi sebuah artikel dan diberi waktu 30 menit untuk mendiskusikan masalah yang dibahas pada artikel tersebut beserta solusinya. LGD akan dinilai oleh seorang psikolog yang selama proses diskusi berlangsung hanya mengawasi dan mencatat sesuatu sambil senyam-senyum. Ini adalah bagian yang paling saya takutkan. Mengapa? Karena LGD bukanlah forum diskusi seperti Focus Group Discussion (FGD), namanya saja sudah LEADERLESS Group Discussion yaitu grup diskusi tanpa pemimpin. Dan saya selain karena sering berorganisasi dan tamatan hukum pula maka saya terbiasa mendominasi dan “langsung serang” jika sedang berdiskusi. Saya takut saya tidak bisa mengontrol diri dan kebablasan. Ternyata bukan saya saja yang khawatir. Salah satu peserta tamatan UI juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan saya. Takut tidak bisa mengontrol diri dan mendominasi. Alasannya? Dia Jurnalis dan orang organisasi. Haha. 

Kebetulan saya dan kenalan saya ini satu grup diskusi, sebelum diskusi dimulai kita sudah berjanji satu sama lain untuk duduk bersebelahan agar bisa saling mengingatkan kalau salah satu dari kita lepas kendali haha. Ternyata duduknya diatur berdasarkan nama, mungkin agar si ibu psikolog lebih mudah memberi penilaian. Jadi tempat duduk saya berselang satu kursi dari tempat duduknya. Pada saat LGD berlangsung secara tidak sengaja teman saya ini menjadi moderator padahal dia berniat tidak mau memoderatori jalannya diskusi. Lagi-lagi karena takut mendominasi. Menurut pendapat saya pribadi, dia cukup baik sebagai moderator dan juga tidak mendominasi. Kalau saya, selama LGD berusaha sekeras mungkin menahan diri untuk tidak menyanggah pendapat yang lain meski menurut saya ada yang salah dan merasa “gatal” untuk mengoreksi. Saya hanya berbicara ketika saya yakin semuanya sudah mendapat giliran menyampaikan pendapatnya. Dan jika saya tidak setuju maka saya akan berusaha berdiplomasi agar kedengarannya tidak nyelekit hehe. Dan Alhamdulillah, saya dan teman saya lulus wawancara LPDP.

Tahap berikutnya adalah interview. Dikarenakan jumlah peserta yang lumayan banyak maka wawancara dibagi dua hari. Saya sebenarnya kebagian jatah interview di hari kedua namun dikarenakan dua orang ada yang tidak hadir maka saya mengajukan diri di interview hari itu juga. Biar deg-degannya sekalian, begitu fikir saya. Sebenarnya saya termasuk nekat, karena saya tidak melakukan persiapan apapun untuk interview. Rencana saya setelah pulang LGD baru saya pelajari rencana studi dan essay saya. Dan karena saya apply LPDP itu dadakan, saya baru tahu mengenai LPDP secara detil pada malam tanggal 17 November 2014. Ketika saya cek website LPDP dijelaskan deadline 19 November. Lalu, saya fikir ya sudah coba saja dulu, nothing to lose. Akhirnya, besoknya tanggal 18 November, saya ke kampus untuk minta surat rekomendasi dari dekan dan malam sebelum deadline ditutup saya bergadang mengisi formulir, menulis dua essay (700 kata per essay) dan rencana studi (700 kata) dan baru selesai pukul 09.00  pagi. Alhamdulillah berkas lain yang diperlukan sudah ada walhasil tinggal discan dan diupload. 10.00 WIB tanggal 19 November (yah, yah hari terakhir deadline) aplikasi saya berhasil di submit, Alhamdulillah.

Lanjut mengenai wawancara, karena jadwal saya dimajukan maka saya dapat giliran terakhir. Ada 3 kelompok interview dengan masing-masing kelompok interview terdiri dari tiga reviewer yaitu satu orang psikolog dan dua orang professor. Saya kebagian kelompok interview 3. Sebelum interview saya mencoba sedikit “kepo” dan bertanya sana-sini kepada yang sudah lebih dulu di interview. Dengar-dengar rumor tim kelompok 3 itu reviewernya paling baik-baik dan tidak seram seperti kelompok 1 dan 2. Dan saya lihat hampir semua dari kelompok 1 dan 2 keluar dalam keadaan muka lesuh dan bahkan ada yang menangis. Kalau teman dekat saya di PCMI, alumni Pertukaran ke Korea, satu-satunya dari kelompok 2 yang keluar dengan wajah sumringah dan dia juga lulus LPDP. She is indeed in a different league, haha.

Tibalah saat saya di interview, saya masuk keruangan, dalam satu ruangan tersebut ada 3 kelompok interview. Kelompok interview saya satu-satunya kelompok interview yang semua reviewernya adalah bapak-bapak. Yang lain terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak. Lalu saya langsung teringat teman dekat saya yang kuliah di psikologi USU, pernah bilang kalau dosen pembimbingnya merupakan salah satu interviewer LPDP. Langsung saya tebak, ini pasti dosen pembimbing teman saya. Dengar rumor dari teman, karena beliau tamatan luar jadi pemikirannya terbuka dan orangnya asik. Dua professor lain berasal dari Jakarta (sepertinya UI) dan Jawa (kurang tahu daerah dan uninya secara spesifik).

Begitu masuk, saya langsung menyalami bapak-bapak tersebut yang hampir seusia ayah saya bahkan sepertinya lebih tua kecuali bapak psikolog yang sedikit lebih muda. Salamnya seperti salam ke orang tua saya sendiri, ditaruh dikening. Kebiasaan saya kalau salam orang yang jauh lebih tua dari saya hehe.

Berikutnya interview saya akan saya buat dalam bentuk percakapan :

Reviewer Psikolog (RPsi) : “Ok, Please introduce yourself and your family!” (Dengar-dengar introduction selalu bahasa inggris biasanya, tapi interview selanjutnya akan dalam bahasa Indonesia, atau fifty-fifty. Tapi kasus saya dari awal hingga akhir dengan bahasa inggris, dan ketika itu hanya saya yang full di interview bahasa inggris T.T)

Me : First, I would like to thank LPDP and the reviewers for giving me an opportunity . I’m Maulida Hadry Sa’adillah, graduated from Faculty of Law, University of Sumatera Utara, 2013. During my study period I studied almost all fields of jurisprudence but in semester six I focused on International Law in which I discovered my passion for the law of the sea, maritime boundary dispute to be particular. My mother is a lecturer and so is my father but due to his kidney failure he has been taking a break for a year now but still working at his office as a public accountant two days a week. My eldest sister is a doctor, still doing her internship at the hospital in a remote village in Aceh. My second sister is still studying psychology in Riau, happily married and has a baby. I’m the third, and my youngest brother is still studying law at USU.

RPsi : “You have a British accent. Where did you learn English?” (Ketika ditanya begitu baru saya sadar aksen saya belakangan ini berubah menjadi British accent, karena sebelumnya aksen saya American dan setelah balik dari Australia aksen saya jadi Australian. Beberapa waktu yang lalu, teman native saya bilang aksen saya itu campuran Amerika dan Australia -,-)

Me : “Self-study, Sir. I learned autonomously, though I acquired my accent naturally after intensively talking with my native friends or simply just by watching movies, Sir."

RPsi : “Autodidact? Wow, Okey. (Teman saya kemarin baru bertemu dengan si bapak psikolog ini di kampus dan si bapak cerita ke teman saya kalau beliau tidak percaya saya belajar secara otodidak karena aksen saya yang sangat British, haha ^^) Then, you are planning to take Master Degree in Public International Law (PIL) at Leiden University, right? Why do you choose Leiden?" 

Me : I choose Leiden University for some reasons, Sir. First, Leiden’s rank is 1st in Netherlands and 74th in the world. And its law faculty is one of the best law schools in the world. Leiden Law School located in two cities, Leiden and The Hague, The Hague often referred to as The City of Peace and Justice or The Legal Capital of The World. There are many international institutions located in The Hague, such as International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court (ICC) and other international tribunals. Leiden offers its law students with its combined program with Grotius Center for Legal Studies a great opportunity to have a discussion, face to face with the honorable judges from both ICC and ICJ, an opportunity which can’t be found in any other institutions but Leiden. To be able to study Public International Law at the school where Hugo Grotius, the Founding Father of International Law, acquired his knowledge from has always been my dream. (Saya menjelaskan ini dengan mudah karena ini adalah alasan yang saya tulis di rencana studi saya, jadi secara otomatis sudah terhapal di luar kepala, hehe).

RPsi : Hmm, Master of Laws in Law, Specialization on Public International Law, LL.M. Hmm…Is it an eleven month program? 

Me : It’s a year, Sir.

RPsi : “Ah, setahu saya LL.M ini kalau setahun durasinya 11 bulan (tiba-tiba si bapak psikolog pakai bahasa Indonesia) Kalau begitu ga bisa, LPDP ga mau biayain kalau Cuma 11 bulan, syaratnya minimal satu tahun.

Saya keburu terbengong bego, jadi agak kagok tapi akhirnya saya bilang itu 1 tahun 12 bulan, bukan 11 bulan.

RPsi : Betul 12 bulan? Mana coba buktinya? Give me the evidence!

Me : “On its website, Sir” *dengan nada memelas, sudah takut duluan tidak diluluskan karena durasi program, hiks

Lalu tiba-tiba professor disebelah beliau yang dari tadi hanya memperhatikan percakapan saya dengan bapak psikolog angkat bicara 

RProf1 : “Yah, sudah kalau di Leiden ga bisa, dia kan bisa pilih uni lain”

Saya dalam hati teriak “Yes, Thanks Professor, you are the best” Haha.

Untung saja di rencana studi, saya ada cantumkan durasi program dan memang disitu 1 tahun itu dua belas bulan, full-time. Barulah si bapak psikolog tidak menodong saya lagi minta bukti hehe.

RProf1 : “Ok, Are you married?”

Me : “No, Sir. Not Yet”
(Sebelum saya ada peserta wawancara dikelompok yang sama dengan saya ditanya pertanyaan ini dengan reviewer lalu dia ditanya bermacam-macam seperti “Nanti kalau kamu disana jatuh cinta sama orang luar dan ga mau balik ke Indonesia, gimana?” Dan skenario-skenario imajinasi lainnya mengenai pernikahan dengan orang luar. Saya fikir saya bakal ditanya hal yang sama ketika si bapak professor 1 bertanya saya sudah menikah atau belum, eh ternyata beliau tidak melanjutkan. Kenapa yah? Saya dengar  dan baca di internet peserta perempuan banyak yang ditanya begitu. Mungkin bapak itu melihat saya tidak ada niat nikah dalam waktu dekat atau semacamnya, jadi beliau mungkin berfikir tidak usah capek-capek dilanjutkan hahaha)

RProf1 : “Maulida. Now, tell us why do you want to study Public International Law?”

Me : “Indonesia has a shortage of International Law experts. When I was a chief of International Law Student Association in my faculty, I noted that there were only 52 out of 550 law students in my batch who chose International Law as their specialization in semester six. 498 students preferred Civil Law, Criminal Law and Economic Law. Most of law students or even legal professionals in Indonesia tend to think that International Law has only limited fields and prospect jobs. This wrong perception leads to a great loss to Indonesia. Indonesia as the largest archipelagic country in the world needs international law experts especially in maritime boundaries in order to preserve its island from being stolen and to preserve its sovereignty. Also to avoid the same lose when Indonesia lost against Malaysia over Sipadan and Ligitan in ICJ, 2002. For those reasons, I would like to pursue my further study in Public International Law.” (Dalam hati yes, ini juga saya tulis di rencana studi hehe) 

Saya sambil menjelaskan sambil melihat reaksi bapak-bapak reviewer, dan si bapak psikolog selalu mengangguk-angguk sepanjang saya menjelaskan. Melihat ini membuat saya semakin yakin dan percaya diri, meski tidak tahu itu taktik si bapak psikolog untuk memancing saya biar lebih kelihatan karakter saya  atau bagaimana haha.

Lalu si bapak psikolog dan si bapak professor 1 menanyakan organisasi saya. Di aplikasi saya mencantumkan sekitar belasan organisasi yang saya ikuti dari SMA hingga Universitas. Mereka hanya bertanya mengenai organisasi di Universitas. 

Lalu pertanyaan berikutnya adalah rencana pasca study.

RPsi : What is your plan after completing your study?”

Me : “I have some plans in mind, but I will try to highlight the most important ones. First, I aspire to become an International Lawyer specialized in maritime boundary dispute. Then, I would like to share my knowledge to my academic fellow and to give socialization to Indonesian law students about the importance of international law as a tool to protect our national interest. Or, I might join in government institutions related to my major. And, I also would like to take PhD after completing my master."

RPsi : “So, are you going to become a consultant for private company?”

Me : “No, Of course not, Sir. If I wanted to work as a legal consultant for a private company, then I would take international business law instead of public international law. But I choose Public International Law, and I’d love to take my PhD afterwards in hopes that I can obtain a more comprehensive and in-depth knowledge of The Law of The Sea. And as I’ve explained in my study plan one of the reasons I want to take PIL and Law of The Sea because I was so disappointed with our government..” (belum selesai saya menjelaskan sudah dipotong si bapak psikolog)

RPsi : “Which government?”

Me : “Well, sir. Since maritime boundary dispute isn’t solely one government institution’s responsibility, it involves more than one institution. Our government in the past didn’t pay much attention to our maritime; they let our outer islands vacant. There was no significant effort to protect our outer Islands. At the end, we lost our right over Sipadan and Ligitan. But, I realized something, that if I just sit back and do nothing, I won’t change a thing. Then instead of blaming the government, I personally commit myself to contributing to Indonesia by becoming one of experts in this field in hopes of no more lost cases concerning maritime delimitation in the future."

Bapak psikolog terus mengangguk-angguk. Lalu bapak professor 1 mengatakan bahwa di Jakarta sendiri banyak sekali orang-orang berpengetahuan luas namun setelah mereka pulang dari menuntut ilmu di luar dan kembali ke Indonesia, mereka secara otomatis terikut sistem yang ada. Sistem rusak yang telah mendarah daging di Indonesia. Beliau bilang pada akhirnya sekolah mereka di luar seperti sia-sia. Lalu beliau bertanya bagaimana kalau saya juga begitu. 

Mendengar pernyataan dan pertanyaan beliau saya langsung berkata dalam hati “wah, pertanyaan menjebak nih”. Lalu saya jawab dengan singkat kalau menurut saya itu tergantung pribadi masing-masing. Saya yakin kalau seseorang bertekad kuat pasti tidak akan terikut sistem. 

Lalu si bapak professor menyanggah pernyataan saya lagi. Beliau tidak setuju kalau itu tergantung masing-masing. Beliau mengatakan sudah banyak yang beliau lihat pada akhirnya terikut sistem. Dan beliau mengatakan sistem itu besar dan sulit bahkan tidak mungkin untuk dirubah.

Lalu saya jawab sambil tersenyum :

“Yes, Sir. I do believe it would be hard for me as well. But there is a saying that goes “Do not change the world, but change yourself”. So I’m not going to change the world since the world is too big for me to change. But I would change my own self since I believe if I change myself I will bring positiveness to my surroundings and perhaps people will start doing the same, and the world will change itself.”

Dan si bapak psikolog sekali lagi saya lihat terus mengangguk-angguk selama saya menyampaikan pendapat saya, haha. Lalu si bapak professor 1 mengatakan kepada saya kalau beliau mendoakan agar saya dapat mempertahankan prinsip tersebut dan tidak terikut sistem yang bobrok meski saya telah kembali pulang ke Indonesia. Saya jawab berulang kali “Aamin, Aamin, Aamin. Thank You, Sir”. Lalu si bapak professor 1 melirik ke si bapak psikolog dan bilang “It’s enough from me, more questions?” Si bapak psikolog menggeleng. Lalu tiba-tiba si bapak professor 2 yang dari tadi diam memperhatikan saya dan sibuk membaca aplikasi saya di laptop bertanya. Saya hampir lupa dengan keberadaan bapak professor yang satu ini karena keasikan diskusi dengan si bapak psikolog dan si bapak professor 1. 

Beliau bertanya dalam bahasa Indonesia dengan sangat lembut :

RProf 2 : “Sudah ada kontak dengan universitas?”

Me : “Sudah Pak”

RProf2 : “Leiden ini bagus loh hukumnya, nanti kamu setelah S2 langsung S3 saja, tidak usah balik dulu ke Indonesia. Sayang kan kalau tidak langsung lanjut S3.”

Saya hanya senyum bingung mau jawab apa, maunya saya sih saya iyakan tapi takut ini jebakan batman karena yang saya dengar kan LPDP harus balik ke Indonesia selesai studi. Nanti kalau saya iyakan berarti saya tidak mau balik dulu, takutnya malah tidak diluluskan. Dilema haha. Ternyata baru-baru ini saya dapat info dari teman yang sudah PK (Persiapan Keberangkatan) LPDP, dia bilang kalau Awardee LPDP setelah S2, sudah bisa lanjut S3 tanpa ada seleksi lagi dari LPDP dengan syarat IPK mencukupi dan ada proposal penelitian. Jadi semacam garansi, kalau lulus LPDP magister in syaa Allah dapat garansi juga akan dibiayain untuk S3. Wah, ternyata apa yang dibilang si bapak professor bukan jebakan batman. Hehe.

Setelah pertanyaan tersebut saya dipersilahkan untuk meninggalkan ruangan. Alhamdulillah interview 1 jam pun tidak terasa. Alhamdulillah reviewernya baik dan ramah, kelihatan beliau-beliau professor yang sangat berwibawa dan berwawasan luas. 

Begitulah ringkasan interview saya. Pengalaman setiap orang bisa berbeda-beda. Namun tips saya adalah kuasain rencana studi, karena interview saya hanya seputar rencana studi. Jurusan, Universitas yang dituju, Negara yang dituju, pasca rencana studi dan mungkin pertanyaan menjebak seperti pertanyaan mengenai sistem yang ditanyakan ke saya kemarin. Intinya jadilah diri sendiri, selama di interview kita tidak bisa berbohong karena mereka akan membongkar habis-habisan apa yang kita tulis di aplikasi, apalagi ada si ibu dan bapak psikolog yang dengan senyum dan catatannya menilai karakter kita. 

Dan yang terakhir pastilah berdoa, sebelum masuk ruangan saya berulang kali melafalkan doa yang dilafalkan nabi Musa ketika beliau ingin mengajak Fir’aun masuk Islam :

(Rabbi Sharli Sadri wa yassirli amri wahlul uqdatan mil-lisaani yafqahu qawli)
.
"...O my Sustainer! Open up my heart [to Thy light], and make my task easy for me, and loosen the knot from my tongue so that they might fully understand my speech"
Surah Taha, 20:25-28



Selamat Seleksi BPI LPDP, semoga sukses selalu !

Salam LPDP,

Maulida Hadry Sa’adillah

Thursday, July 25, 2013

An Email for The Future Me

Terinspirasi oleh sahabat dekat saya yang mengirimkan email kepada dirinya sendiri di masa depan. Maksudnya dia menset tanggal pengiriman email sehingga jika dia menset email akan dikirim pada tanggal 1 Januari tahun depan, maka dia akan menerima email tersebut di tanggal yang sama tahun depan dari sekarang.

Awalnya saya anggap konyol dan bertanya kepadanya dengan tertawa "Buat apaan sih?". Tapi sekarang saya jadi malah ingin mencoba kekonyolan tersebut. Yah menulis email kepada diri saya di masa depan. Bagaimana yah, mungkin saya coba set pengirimannya 3 tahun kedepan, dan di email tersebut akan saya tuliskan kondisi saya sekarang ini, dan pertanyaan-pertanyaan yang saya miliki sekarang ini untuk diri saya di masa depan. 

Saya ini orangnya pelupa, mungkin ketika 3 tahun lagi ketika email tersebut saya terima, saya akan benar-benar bingung pada awalnya. Mungkin akan membuat saya membuka masa lalu, hal yang tidak pernah saya lakukan karena saya cepat melupakan sesuatu. Benda, nama, jalan, orang, pelajaran, film bahkan perasaan yang pernah saya miliki, benci ataupun suka.

Namun saya ini orangnya penasaran, saya penasaran sekali bagaimana keadaan di masa depan, maka saya ingin diri saya di masa depan membantu saya menjawab rasa penasaran saya di masa sekarang. Kedengaran konyol? tidak apa karena saya juga mengganggap sahabat saya konyol pada awalnya. 

Jika Allah masih berkenan memberikan saya umur panjang hingga 3 tahun kedepan dan alamat email saya tidak tiba-tiba di blockir, suspended atau pun saya lupakan, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab sendiri oleh "the future me". Dan jika ternyata umur saya tidak panjang hingga mengecek email didunia lain bukanlah hal yang mungkin untuk dilakukan maka semoga sahabat saya yang tahu email address saya beserta passwordnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk saya. Dan jika account email saya di blockir, suspended atau saya lupakan maka yah mungkin memang pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak untuk dijawab.

Sebenarnya pertanyaan yang akan saya tanyakan kepada"the future me" adalah pertanyaan biasa-biasa saja tapi tetap bukan pertanyaan yang mudah dijawab, namun ini adalah sebagian dari pertanyaan yang akan saya tanyakan kepada diri saya sendiri di masa depan :


1. Apakah saya sudah menyelesaikan S2 overseas seperti yang saya inginkan?
2. Apakah saya sudah bekerja? dan apakah pekerjaan saya saat ini adalah pekerjaan yang saya impikan?
3.Apakah saya masih suka mendesign pakaian?
4. Apakah Papa sudah semakin baik dari sakitnya?
5. Apakah Ibu sudah menjadi Professor?
6. Apakah Papa dan Ibu bangga dengan pencapaian saya sekarang?
7. Apakah salah satu dari kami (saya, kedua kakak saya dan adik saya) sudah berhasil menghajikan Ibu dan  Papa?
8. Apakah kakak pertama saya sudah menikah? dengan siapa?
9. Apakah saya sudah punya keponakan?
10. Apakah adik saya sudah menyelesaikan kuliahnya? Apakah dia sudah semakin baik dan dewasa?
11. Apakah hapalan Quran saya semakin bertambah?
12.Apakah saya tetap konsisten dengan gaya hidup, cara berpakaian, prinsip yang saya punya dulu sampai sekarang?
13.Apakah saya masih menyukai Drama Korea dan Dorama Jepang? (yang ini saya rasa masih, hehe)
14.Apakah sebagian besar mimpi yang saya tuliskan 3 tahun lalu sudah terwujudkan?
15.Apakah saya telah menikah? Dengan siapa? Bagaimana pertemuan saya dan suami saya? Apakah dia memenuhi 5 kriteria wajib saya? Jika saya belum menikah, Mengapa? Apakah tidak ada yang berhasil membuka hati saya? atau apakah saya terlalu pemilih?
16.Apakah saya bahagia? 

Dear, the future me  
Ketika kau menerima email ini 3 tahun kedepan, maka jawablah pertanyaan tersebut dengan tersenyum tidak peduli jika jawabannya tak sesuai dengan harapanmu 3 tahun lalu. Karena 3 tahun kedepan kau masih punya Tuhan yang sama, Allah Azza wa Jalla... :)


Maka, selain saya adakah yang cukup gila untuk mengikuti kekonyolan menarik ini? :)


Salam, 


Maulida Hadry Sa'adillah




Monday, July 22, 2013

Pelajaran Masa Depan (Edisi : Itazura Na Kiss)

Setelah beberapa bulan saya "mengkhianati" sumpah setia saya dalam dunia perblogan yaitu untuk tetap konsisten menulis dan merawat blog akhirnya kesadaran itu datang juga. Setelah pagi cerah ramadhan ini saya "renungkan" dengan blogwalking.

Maka sebelum menulis "random" lagi meski agak telat saya ingin mengucapkan

"Marhaban yaa Ramadhan, Selamat Datang Tamu Agung" 

Selamat berpuasa bagi yang menjalankan dan bagi media advertisement semoga anda cepat tobat dengan tidak menampilkan makanan dan minuman penggugah iman terutama iklan sirup dengan gelas yang berembun, brrrr (astaga puasa, Da -__-)

Hari ini saya akan menulis random lagi, yah random, mohon maaf karena tidak ada kaitannya dengan Ramadhan, atau dengan kegiatan saya di bulan ramadhan maupun segala jenis aktivitas dunia keeksisan saya di bulan ramadhan (yak, sindrom self-centered person saya kambuh lagi, mohon maaf jika ada yang mual jangan dipaksakan ntar batal puasanya, hehe)

Tadi malam secara random (hidup saya memang penuh ke-random-an saudara2, mohon dimaklumi) saya bongkar2 file di drive D, kebiasaan freak mengorganisir segala sesuatu membuat saya lebih mudah menemukan folder-folder yang ingin saya cari (berlaku untuk hal yang saya sukai, kalau tidak yah tetap berantakan haha). Saya buka folder movies, nah didalam folder tsb ada beberapa folder lagi dengan banyak kategori dari Korean dramas dan movies, dorama dan movies Jepang, Thailand dan Hollywood hingga edisi Anime. Lengkap yah, semuanya hasil perjuangan download-an saya dengan speedy kecepatan rata-rata 100 kb/sec (150 kalau lagi beruntung dan 20 kalau lagi apes dan hujan) beserta IDM penyelamat dunia perdownloadan saya. Kebanyakan genre untuk Hollywood adalah hal-hal berbau psikologi, psikologi kriminal, detektif, medical yang serialnya bisa sampai ber-season2, beratus giga. Sedangkan untuk Korean dan Japanesse kebanyakan genre nya yah tentang romance namanya juga anak muda :P beberapa genre juga mengenai medical dan serial detektif yang ada kaitannya dengan psikologi kriminal. Yah, yah silahkan sebut saya psychopath -__-

Ada salah satu folder menarik mata saya, "Itazura Na Kiss All Versions" yah yah bagi yang suka baca Manga (Komik Jepang), nonton Anime, Korean drama, dorama Jepang maupun Drama Taiwan pasti judul "Itazura Na Kiss" sudah tidak asing lagi. Bagi yang belum tahu silahkan google dan jangan salahkan saya kalau setelah menggoogle dan membaca tulisan ini anda jadi kepingin baca komiknya atau nonton semua versinya, hehe

Itazura Na Kiss adalah Manga karangan Kaoru Tada tahun 1991 (jadi ini manga udah terbit dan populer ketika usia saya baru 1 tahun) tapi sayangnya Manga ini tidak pernah diselesaikan karena pengarangnya meninggal secara mendadak akibat kecelakaan pada saat pindahan ke rumah baru. Kemudian pada tahun 1996 untuk pertama kalinya disiarkan live action di televisi Jepang (versi ini versi pertama kali yang saya tonton ketika saya masih duduk dibangku SMP, dan Takashi Kashiwabara untuk pertama kalinya membuat bocah ingusan seperti saya mengenal ganteng itu seperti apa haha dodol, umur 15 tahun baru ngeh konsep ganteng)

Tahun 2005 disiarkan live action versi taiwan dengan sekuelnya ditahun 2007 (versi ini adalah versi yang palinngggg saya sukai dari seluruh versi dan yah Ariel Lin dan Joe Cheng selalu menjadi pasangan versi Itazura Na Kiss yang paling memiliki chemistry menurut saya).

Memanfaatkan boomingnya Korean Drama belakangan ini, tahun 2010 pihak televisi Korea pun tidak mau kalah membuat versi Korea (dan versi ini adalah versi yang maaf paling gagal menurut saya, yah meski yang 1996 terlalu singkat dan si pemeran utama cowok terlihat yang paling sadis dan kejam dari semua versi yang ada tapi tetap saya maklumi selain karena ini adalah versi pertama yang ditelurkan dan itu dibuat ditahun 1996 dan juga karena Takashi Kashiwabara, haha tetep XD)

Tahun 2008 televisi Jepang menyiarkan versi Animenya, menurut suami Kaoru Tada versi Anime adalah versi yang endingnya paling mendekati dengan yang diinginkan Kaoru Tada.

Kemudian yang paling terbaru adalah remake versi jepang di tahun 2013, yang seluruh 16 episodenya baru selesai tayang pertengahan Mei lalu. (Versi ini adalah versi kedua yang saya sukai setelah versi Taiwan, meski tidak setampan Om Takashi Kashiwabara, Furakawa Yuki at least berhasil memerankan perananannya dengan excellent bahkan beberapa pengamat drama banyak yang setuju kalau Furakawa Yuki adalah versi "Naoki" (karakter utama pria) yang paling mendekati dengan karakter original yang ada di manga, not to mention his perfect english yang semakin menguatkan karakter jenius "Naoki". Namun, tetap dihati saya Joe Cheng adalah yang paling pas memerangkan karakter Naoki, well different people, different opinions, so why bother? hehe)

Itazura Na Kiss adalah cerita tentang Kotoko, cewek super bodoh (iya beneran bodoh, masukkin sponge cuci piring ke mangkuk sup pembeli kurang bodoh apalagi coba?-_- *tontonversiTaiwan2007) jatuh cinta pada pandangan pertama (ceileh, masih ada yang begituan? haha) dengan Naoki, cowok super jenius (IQ 200), tinggi, ganteng, jago di sport dan masak ahhhh multitalented lah (emang makhluk begini masih eksis didunia nyata?) tapi asli ga punya emosional atau ekspresi apapun, cool dan super jutek. Kalau mau tahu lebih lengkap baca manganya sendiri atau tonton dramanya sendiri yah (panjang kalau dijelasin semua --_--)

Singkatnya, yang saya suka dari ceritanya adalah bukan sekedar tentang romance biasa, but its more than that. Kalau dilihat dari beberapa episode panjangnya semuanya menggambarkan tentang perjuangan Kotoko mendapatkan hatinya Naoki, beberapa usaha dari yang super konyol sampai yang paling mengharukan sekalipun. Dan akhirnya suatu hari Naoki "menyerah" dan membalas cintanya Kotoko dan menikah.

"It was like she had cast a spell. From day to night, she'd tell me she likes me. It was so annoying but when that annoyance slowly becomes a kind of common ritual, all of a sudden she says "I don't like you anymore." I still clearly remember the depressed feeling that came over me. I should have been relieved but that didn't seem to be the case" -Zhi Su (Naoki versi Taiwan)

 Inti yang saya dapat dari perjuangan Kotoko adalah komitmennya dalam berusaha, fokusnya cuma satu "Naoki" mau ada badai, topan, tsunami, banjir bah, longsor yah fokusnya cuma satu tetep "Naoki". Dan pada akhirnya setelah "berdarah-darah" berjuang, Kotoko mendapatkan cintanya Naoki.

Ada suatu kalimat yang dikatakan Zhi-Su (Naoki versi Taiwan) ke Qi Tai (teman sekelas Xiang Qin (Kotoko versi Taiwan) yang suka dengan Xiang Chin) : "I know my wife, no one can beat her love for me. If she's determined on something, nothing can stop her. So, she will never love you".

Yang saya ambil hikmahnya bukan dari segi cintanya (karena kalau ga jodoh yah mau digimanain juga tetap ga jodoh), tapi saya melihatnya dari segi mimpi. Ketika kita meraih mimpi jika kita pakai prinsip Kotoko yang komitmen dengan one-sided love nya selama 5 tahun (alamak, lamanya -..-), berusaha mati-matian meluluhkan hati batu Naoki yang super jutek dan sadis, meski ada challenges didepan mata maupun distraction lain seperti cinta baru yang ditawarkan temen sekelas SMAnya, Kotoko tetap fokus pada satu tujuan, Naoki. Jika kita pakai teori Kotoko (haha, teori apapula inih?) dan diaplikasikan ke mimpi yang sedang atau ingin kita raih, maka tidak peduli seberapa banyak usaha yang harus kita lakukan, seberapa lama kita harus berjuang dan seberapa berat rintangan dan cobaan yang datang, kita tetap konsisten, karena fokus kita cuma satu, Mimpi Kita.

Dan hikmah lainnya ini saya dapat dari nonton yang versi Taiwan. Versi Taiwan adalah versi yang paling panjang dan lama karena dibuat sekuelnya atau season 2 yaitu versi setelah mereka menikah.(Manga dan Anime juga ada versi setelah menikahnya sih). Versi ini lebih menyentuh hati saya rasa karena versi setelah menikah center cerita adalah kehidupan mereka berdua sebagai suami istri, dan "masalah sebenarnya benar-benar baru dimulai saudara2". Karakter Naoki dan Kotoko yang 180 derajat berbeda menyebabkan banyaknya masalah yang terjadi. Kotoko dengan kebodohan dan selalu over dalam bereaksi dan Naoki dengan kesempurnaanya dan kefatalan less emotional expressions-nya membuat saya yakin kehidupan pernikahan memang tidak seindah negeri dongeng, saudara2 (sekuel setelah menikah ini berhasil membuat saya menghabiskan tisu berkotak-kotak karena banjir air mata, seriusan hehe). Namun seiring berjalannya waktu keduanya mulai bisa memahami satu sama lain dan menyelesaikan masalah dalam rumah tangga mereka dengan baik dan semakin menguatkan keduanya.

Ada suatu adegan yang sangat mengena dihati saya dan menjadi renungan saya mungkin hingga saya menikah nanti. Ketika Yu Shu (Yuki versi Taiwan, adiknya Zhi Su (Naoki versi Taiwan)) yang juga lagi dalam perasaan terombang-ambing antara suka dan ga suka dengan teman sekolahnya yang super bodoh (tapi tetap lebih bodoh Kotoko haha XD) bertanya ke Zhi Su :

"Kak, kenapa kau menyukai Xiang Qin, Xiang Qin sangat jauh berbeda dengan mu dan bukan tipe yang akan kau sukai, tapi pada akhirnya kau mencintainya?"

Zhi Su tersenyum lalu menjawab :

"90% hal didunia ini yang tidak bisa dikerjakan Xiang Qin dapat aku kerjakan dengan baik, namun 10% sisanya yang tidak bisa aku kerjakan dapat dikerjakan Xiang Qin dengan keunikannya tersendiri secara sempurna. Mungkin karena ini dia membuatku menyukainya"

Ahhh, jawaban luar biasa mengena bukan? Yup, dari sini saya ambil pelajaran bahwa pasangan bukanlah dua orang yang sempurna, namun pasangan adalah dua orang yang saling melengkapi kekurangan satu sama lain dengan kelebihan masing-masing yang dimiliki sehingga keduanya menjadi satu kesatuan yang sempurna.

Dari drama ini saya juga banyak melihat segala permasalahan kehidupan rumah tangga dengan banyak sisi, Kotoko dan Naoki tidak menjadikan perbedaan dan masalah yang ada diantara mereka menjadi alasan untuk kemudian memisahkan keduanya (hal yang sering dijadikan alasan orang-orang bercerai sekarang ini) namun sebaliknya keduanya menjadikan perbedaan dan masalah sebagai sarana menguatkan ikatan diantara mereka. Bahkan dibanyak kasus dijadikan sebagai motivasi. Contoh, Kotoko yang super bodoh berhasil lulus tes keperawatan hanya gara-gara diiming-iming "date" dengan suaminya diluar --__--. Naoki berhasil memanfaatkan cinta Kotoko yang terlalu terobsesi dengannya untuk memotivasi Kotoko belajar agar lulus tes, meski dengan IQ yang superrrr jongkok (mungkin ga jongkok lagi, tiarap kali yah, haha) *tontonversiTaiwan.

Dan Kotoko dengan sifatnya yang selalu natural, terbuka dalam mengekspresikan emosinya lambat laun mulai berhasil mengubah Naoki yang kaku dan datar kayak balok kayu menjadi lebih beremosi dan mengenali perasaan-perasaannya sendiri.

Ini hanyalah beberapa hal yang saya ambil pelajarannya dari Itazura Na Kiss baik versi anime, manga atau television version. Banyak hal yang dapat saya jadikan renungan dan pelajaran di masa depan. Jadi bagaimana? tertarik menontonnya? jangan salah kan saya jika anda jatuh cinta dengan ceritanya :)


Salam, 



Maulida Hadry Sa'adillah







Wednesday, May 15, 2013

Remembering Allah Means...




Remembering Allah does not mean you would
pray on time and do lots of Dhikr for Allah
while ignoring other aspects of life.


Remembering Allah means you are happy
with whatever Allah has blessed you- no
matter how much something cuts your heart
like knife.

Remembering Allah means when your heart
cries, you know Allah is going to make you
smile soon.

Remembering Allah means when the duniya
tries to shatter you and you always face those
carefully saving you from the atmosphere of
doom.

Remembering Allah means you believe the
pain that you got is soon going to be
replaced with something better by Allah
which would make you so much happier.

Remembering Allah means no matter how
worse situations become- the best news of
being with all those people and things you
love without any pain is near.

Remembering Allah means you can see in
your heart the most perfect place Jannah
where perfectness is defined by happiness.

Remembering Allah means you know what
you lost, you are soon going to find it with
nothing less.

Remembering Allah means believing with
patience that this "soon" is the Jannah where
all your tears would come back to you smiling.


Remembering Allah means you know the land
of eternal brightness- a place of happiness
which all your beautiful sacrifices and
patience are going to bring.

Remembering Allah means no matter how
many times your dreams break into pieces,
you would always be thankful toward Him
with strong faith.

Remembering Allah means separating the
Haram from Halal so that the only barrier that
would come between you and your paradise
is death.

* So when you want something and you get
it, you should remember Allah in this way.

* and when you don't get it you should still
remember Allah thanking Him all the time of
night and day.

Zb.