Salam LPDP, Para Calon Pemimpin Indonesia!
Sebenarnya saya tidak pernah
berencana untuk menuliskan pengalaman saya melamar Beasiswa LPDP karena saya
rasa sudah banyak tulisan dari awardee yang cukup mumpuni tersebar di internet.
Namun, beberapa waktu belakangan teman-teman yang mengetahui saya lulus LPDP
sering bertanya tips sukses meraih beasiswa LPDP.
Tulisan ini akan saya fokuskan kepada
sesi wawancara karena besok wawancara Beasiswa Reguler LPDP periode I tahun
2015 dimulai. Untuk proses administrasi mungkin jika saya ada waktu dan “mood” menulis akan saya share di post
berikutnya. Namun, bagi yang ingin melihat contoh rencana studi dan essay saya atau
ingin saya mengecek atau “proofread”
rencana studi dan essaynya, bisa mencantumkan emailnya di kolom komentar
artikel ini. In syaa Allah saya usahakan kirim feedback secepatnya. Semoga tulisan
yang tidak seberapa ini bisa memberi sedikit “insight” kepada calon awardee.
Sebelumnya saya ingin mengucapkan
selamat karena anda telah lulus seleksi administrasi artinya satu tahap telah
anda lewati. Wawancara LPDP sendiri berbeda-beda satu antara lainnya namun reviewer biasanya punya standar yang
sama dalam penilaian. Berikut akan saya share pengalaman saya wawancara bulan
Desember kemarin di Medan.
Wawancara LPDP terdiri dari dua
bagian; LGD (Leaderless Group Discussion)
dan Interview. Di LGD para peserta wawancara akan dibagi menjadi beberapa
kelompok biasanya tiap kelompok berjumlah 5-6 orang (berdasarkan pengalaman
saya). Pada saat LGD kita akan diberi sebuah artikel dan diberi waktu 30 menit
untuk mendiskusikan masalah yang dibahas pada artikel tersebut beserta
solusinya. LGD akan dinilai oleh seorang psikolog yang selama proses diskusi
berlangsung hanya mengawasi dan mencatat sesuatu sambil senyam-senyum. Ini
adalah bagian yang paling saya takutkan. Mengapa? Karena LGD bukanlah forum
diskusi seperti Focus Group Discussion (FGD), namanya saja sudah LEADERLESS Group Discussion yaitu grup
diskusi tanpa pemimpin. Dan saya selain karena sering berorganisasi dan tamatan
hukum pula maka saya terbiasa mendominasi dan “langsung serang” jika sedang
berdiskusi. Saya takut saya tidak bisa mengontrol diri dan kebablasan. Ternyata
bukan saya saja yang khawatir. Salah satu peserta tamatan UI juga memiliki
kekhawatiran yang sama dengan saya. Takut tidak bisa mengontrol diri dan
mendominasi. Alasannya? Dia Jurnalis dan orang organisasi. Haha.
Kebetulan saya dan kenalan saya
ini satu grup diskusi, sebelum diskusi dimulai kita sudah berjanji satu sama
lain untuk duduk bersebelahan agar bisa saling mengingatkan kalau salah satu
dari kita lepas kendali haha. Ternyata duduknya diatur berdasarkan nama,
mungkin agar si ibu psikolog lebih mudah memberi penilaian. Jadi tempat duduk saya
berselang satu kursi dari tempat duduknya. Pada saat LGD berlangsung secara
tidak sengaja teman saya ini menjadi moderator padahal dia berniat tidak mau
memoderatori jalannya diskusi. Lagi-lagi karena takut mendominasi. Menurut pendapat
saya pribadi, dia cukup baik sebagai moderator dan juga tidak mendominasi.
Kalau saya, selama LGD berusaha sekeras mungkin menahan diri untuk tidak
menyanggah pendapat yang lain meski menurut saya ada yang salah dan merasa “gatal”
untuk mengoreksi. Saya hanya berbicara ketika saya yakin semuanya sudah
mendapat giliran menyampaikan pendapatnya. Dan jika saya tidak setuju maka saya
akan berusaha berdiplomasi agar kedengarannya tidak nyelekit hehe. Dan
Alhamdulillah, saya dan teman saya lulus wawancara LPDP.
Tahap berikutnya adalah
interview. Dikarenakan jumlah peserta yang lumayan banyak maka wawancara dibagi
dua hari. Saya sebenarnya kebagian jatah interview di hari kedua namun
dikarenakan dua orang ada yang tidak hadir maka saya mengajukan diri di
interview hari itu juga. Biar deg-degannya sekalian, begitu fikir saya. Sebenarnya
saya termasuk nekat, karena saya tidak melakukan persiapan apapun untuk
interview. Rencana saya setelah pulang LGD baru saya pelajari rencana studi dan
essay saya. Dan karena saya apply
LPDP itu dadakan, saya baru tahu mengenai LPDP secara detil pada malam tanggal
17 November 2014. Ketika saya cek website LPDP dijelaskan deadline 19 November.
Lalu, saya fikir ya sudah coba saja dulu, nothing
to lose. Akhirnya, besoknya tanggal 18 November, saya ke kampus untuk minta
surat rekomendasi dari dekan dan malam sebelum deadline ditutup saya bergadang
mengisi formulir, menulis dua essay (700 kata per essay) dan rencana studi (700
kata) dan baru selesai pukul 09.00 pagi.
Alhamdulillah berkas lain yang diperlukan sudah ada walhasil tinggal discan dan
diupload. 10.00 WIB tanggal 19 November (yah, yah hari terakhir deadline) aplikasi
saya berhasil di submit, Alhamdulillah.
Lanjut mengenai wawancara, karena
jadwal saya dimajukan maka saya dapat giliran terakhir. Ada 3 kelompok
interview dengan masing-masing kelompok interview terdiri dari tiga reviewer yaitu satu
orang psikolog dan dua orang professor. Saya kebagian kelompok interview 3. Sebelum
interview saya mencoba sedikit “kepo” dan bertanya sana-sini kepada yang sudah
lebih dulu di interview. Dengar-dengar rumor tim kelompok 3 itu reviewernya
paling baik-baik dan tidak seram seperti kelompok 1 dan 2. Dan saya lihat hampir
semua dari kelompok 1 dan 2 keluar dalam keadaan muka lesuh dan bahkan ada yang
menangis. Kalau teman dekat saya di PCMI, alumni Pertukaran ke Korea,
satu-satunya dari kelompok 2 yang keluar dengan wajah sumringah dan dia juga
lulus LPDP. She is indeed in a different league, haha.
Tibalah saat saya di interview,
saya masuk keruangan, dalam satu ruangan tersebut ada 3 kelompok interview.
Kelompok interview saya satu-satunya kelompok interview yang semua reviewernya
adalah bapak-bapak. Yang lain terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak. Lalu saya
langsung teringat teman dekat saya yang kuliah di psikologi USU, pernah bilang
kalau dosen pembimbingnya merupakan salah satu interviewer LPDP. Langsung saya
tebak, ini pasti dosen pembimbing teman saya. Dengar rumor dari teman, karena
beliau tamatan luar jadi pemikirannya terbuka dan orangnya asik. Dua professor
lain berasal dari Jakarta (sepertinya UI) dan Jawa (kurang tahu daerah dan
uninya secara spesifik).
Begitu masuk, saya langsung menyalami
bapak-bapak tersebut yang hampir seusia ayah saya bahkan sepertinya lebih tua
kecuali bapak psikolog yang sedikit lebih muda. Salamnya seperti salam ke
orang tua saya sendiri, ditaruh dikening. Kebiasaan saya kalau salam orang yang
jauh lebih tua dari saya hehe.
Berikutnya interview saya akan
saya buat dalam bentuk percakapan :
Reviewer Psikolog (RPsi) : “Ok, Please introduce yourself and your
family!” (Dengar-dengar introduction selalu bahasa inggris biasanya, tapi
interview selanjutnya akan dalam bahasa Indonesia, atau fifty-fifty. Tapi kasus saya dari awal hingga akhir dengan bahasa
inggris, dan ketika itu hanya saya yang full di interview bahasa inggris T.T)
Me : First, I would like to thank LPDP and the reviewers for giving me
an opportunity . I’m Maulida Hadry Sa’adillah, graduated from Faculty of Law,
University of Sumatera Utara, 2013. During my study period I studied almost all
fields of jurisprudence but in semester six I focused on International Law in
which I discovered my passion for the law of the sea, maritime boundary dispute to
be particular. My mother is a lecturer and so is my father but due to his kidney
failure he has been taking a break for a year now but still working at his
office as a public accountant two days a week. My eldest sister is a doctor,
still doing her internship at the hospital in a remote village in Aceh. My
second sister is still studying psychology in Riau, happily married and has a
baby. I’m the third, and my youngest brother is still studying law at USU.
RPsi : “You have a British accent. Where did you learn English?”
(Ketika ditanya begitu baru saya sadar aksen saya belakangan ini berubah menjadi
British accent, karena sebelumnya
aksen saya American dan setelah balik
dari Australia aksen saya jadi Australian.
Beberapa waktu yang lalu, teman native
saya bilang aksen saya itu campuran Amerika dan Australia -,-)
Me : “Self-study, Sir. I learned autonomously, though I acquired my
accent naturally after intensively talking with my native friends or simply just
by watching movies, Sir."
RPsi : “Autodidact? Wow, Okey. (Teman saya kemarin baru bertemu dengan si bapak psikolog ini di kampus dan si bapak cerita ke teman saya kalau beliau tidak percaya saya belajar secara otodidak karena aksen saya yang sangat British, haha ^^) Then, you are planning to take Master
Degree in Public International Law (PIL) at Leiden University, right? Why do
you choose Leiden?"
Me : I choose Leiden University for some reasons, Sir. First, Leiden’s
rank is 1st in Netherlands and 74th in the world. And its law
faculty is one of the best law schools in the world. Leiden Law School located
in two cities, Leiden and The Hague, The Hague often referred to as The City of
Peace and Justice or The Legal Capital of The World. There are many
international institutions located in The Hague, such as International Court of
Justice (ICJ), International Criminal Court (ICC) and other international
tribunals. Leiden offers its law students with its combined program with
Grotius Center for Legal Studies a great opportunity to have a discussion, face
to face with the honorable judges from both ICC and ICJ, an opportunity which
can’t be found in any other institutions but Leiden. To be able to study Public
International Law at the school where Hugo Grotius, the Founding Father of
International Law, acquired his knowledge from has always been my dream. (Saya
menjelaskan ini dengan mudah karena ini adalah alasan yang saya tulis di
rencana studi saya, jadi secara otomatis sudah terhapal di luar kepala, hehe).
RPsi : Hmm, Master of Laws in Law, Specialization on Public
International Law, LL.M. Hmm…Is it an eleven month program?
Me : It’s a year, Sir.
RPsi : “Ah, setahu saya LL.M ini
kalau setahun durasinya 11 bulan (tiba-tiba si bapak psikolog pakai bahasa Indonesia)
Kalau begitu ga bisa, LPDP ga mau biayain kalau Cuma 11 bulan, syaratnya
minimal satu tahun.
Saya keburu terbengong bego, jadi
agak kagok tapi akhirnya saya bilang itu 1 tahun 12 bulan, bukan 11 bulan.
RPsi : Betul 12 bulan? Mana coba buktinya? Give me the evidence!
Me : “On its website, Sir” *dengan nada memelas, sudah takut duluan
tidak diluluskan karena durasi program, hiks
Lalu tiba-tiba professor
disebelah beliau yang dari tadi hanya memperhatikan percakapan saya dengan
bapak psikolog angkat bicara
RProf1 : “Yah, sudah kalau di
Leiden ga bisa, dia kan bisa pilih uni lain”
Saya dalam hati teriak “Yes, Thanks Professor, you are the best”
Haha.
Untung saja di rencana studi,
saya ada cantumkan durasi program dan memang disitu 1 tahun itu dua belas
bulan, full-time. Barulah si bapak psikolog tidak menodong saya lagi minta
bukti hehe.
RProf1 : “Ok, Are you married?”
Me : “No, Sir. Not Yet”
(Sebelum saya ada peserta wawancara
dikelompok yang sama dengan saya ditanya pertanyaan ini dengan reviewer lalu
dia ditanya bermacam-macam seperti “Nanti kalau kamu disana jatuh cinta sama
orang luar dan ga mau balik ke Indonesia, gimana?” Dan skenario-skenario
imajinasi lainnya mengenai pernikahan dengan orang luar. Saya fikir saya bakal
ditanya hal yang sama ketika si bapak professor 1 bertanya saya sudah menikah
atau belum, eh ternyata beliau tidak melanjutkan. Kenapa yah? Saya dengar dan baca di internet peserta perempuan banyak
yang ditanya begitu. Mungkin bapak itu melihat saya tidak ada niat nikah dalam
waktu dekat atau semacamnya, jadi beliau mungkin berfikir tidak usah
capek-capek dilanjutkan hahaha)
RProf1 : “Maulida. Now, tell us why do you want to study Public
International Law?”
Me : “Indonesia has a shortage of International Law experts. When I was a
chief of International Law Student Association in my faculty, I noted that
there were only 52 out of 550 law students in my batch who chose International
Law as their specialization in semester six. 498 students preferred Civil Law,
Criminal Law and Economic Law. Most of law students or even legal professionals
in Indonesia tend to think that International Law has only limited fields and
prospect jobs. This wrong perception leads to a great loss to Indonesia.
Indonesia as the largest archipelagic country in the world needs international
law experts especially in maritime boundaries in order to preserve its island
from being stolen and to preserve its sovereignty. Also to avoid the same lose
when Indonesia lost against Malaysia over Sipadan and Ligitan in ICJ, 2002. For
those reasons, I would like to pursue my further study in Public International
Law.” (Dalam hati yes, ini juga
saya tulis di rencana studi hehe)
Saya sambil menjelaskan sambil
melihat reaksi bapak-bapak reviewer, dan si bapak psikolog selalu
mengangguk-angguk sepanjang saya menjelaskan. Melihat ini membuat saya semakin
yakin dan percaya diri, meski tidak tahu itu taktik si bapak psikolog untuk memancing
saya biar lebih kelihatan karakter saya atau bagaimana haha.
Lalu si bapak psikolog dan si
bapak professor 1 menanyakan organisasi saya. Di aplikasi saya mencantumkan
sekitar belasan organisasi yang saya ikuti dari SMA hingga Universitas. Mereka
hanya bertanya mengenai organisasi di Universitas.
Lalu pertanyaan berikutnya adalah
rencana pasca study.
RPsi : What is your plan after completing your study?”
Me : “I have some plans in mind, but I will try to highlight the most
important ones. First, I aspire to become an International Lawyer specialized
in maritime boundary dispute. Then, I would like to share my knowledge to my academic
fellow and to give socialization to Indonesian law students about the
importance of international law as a tool to protect our national interest. Or,
I might join in government institutions related to my major. And, I also would
like to take PhD after completing my master."
RPsi : “So, are you going to become a consultant for private company?”
Me : “No, Of course not, Sir. If I wanted to work as a legal consultant
for a private company, then I would take international business law instead of
public international law. But I choose Public International Law, and I’d love to
take my PhD afterwards in hopes that I can obtain a more comprehensive and
in-depth knowledge of The Law of The Sea. And as I’ve explained in my study
plan one of the reasons I want to take PIL and Law of The Sea because I was so disappointed
with our government..” (belum selesai saya menjelaskan sudah dipotong si
bapak psikolog)
RPsi : “Which government?”
Me : “Well, sir. Since maritime boundary dispute isn’t solely one government
institution’s responsibility, it involves more than one institution. Our
government in the past didn’t pay much attention to our maritime; they let our outer
islands vacant. There was no significant effort to protect our outer Islands.
At the end, we lost our right over Sipadan and Ligitan. But, I realized something,
that if I just sit back and do nothing, I won’t change a thing. Then instead of
blaming the government, I personally commit myself to contributing to
Indonesia by becoming one of experts in this field in hopes of no more lost
cases concerning maritime delimitation in the future."
Bapak psikolog terus
mengangguk-angguk. Lalu bapak professor 1 mengatakan bahwa di Jakarta sendiri
banyak sekali orang-orang berpengetahuan luas namun setelah mereka pulang dari
menuntut ilmu di luar dan kembali ke Indonesia, mereka secara otomatis terikut sistem
yang ada. Sistem rusak yang telah mendarah daging di Indonesia. Beliau bilang
pada akhirnya sekolah mereka di luar seperti sia-sia. Lalu beliau bertanya
bagaimana kalau saya juga begitu.
Mendengar pernyataan dan
pertanyaan beliau saya langsung berkata dalam hati “wah, pertanyaan menjebak
nih”. Lalu saya jawab dengan singkat kalau menurut saya itu tergantung pribadi
masing-masing. Saya yakin kalau seseorang bertekad kuat pasti tidak akan
terikut sistem.
Lalu si bapak professor
menyanggah pernyataan saya lagi. Beliau tidak setuju kalau itu tergantung
masing-masing. Beliau mengatakan sudah banyak yang beliau lihat pada akhirnya
terikut sistem. Dan beliau mengatakan sistem itu besar dan sulit bahkan tidak
mungkin untuk dirubah.
Lalu saya jawab sambil tersenyum
:
“Yes, Sir. I do believe it would be hard for me as well. But there is a
saying that goes “Do not change the world, but change yourself”. So I’m not
going to change the world since the world is too big for me to change. But I
would change my own self since I believe if I change myself I will bring positiveness
to my surroundings and perhaps people will start doing the same, and the world
will change itself.”
Dan si bapak psikolog sekali
lagi saya lihat terus mengangguk-angguk selama saya menyampaikan pendapat saya,
haha. Lalu si bapak professor 1 mengatakan kepada saya kalau beliau mendoakan
agar saya dapat mempertahankan prinsip tersebut dan tidak terikut sistem yang
bobrok meski saya telah kembali pulang ke Indonesia. Saya jawab berulang kali “Aamin, Aamin, Aamin. Thank You, Sir”.
Lalu si bapak professor 1 melirik ke si bapak psikolog dan bilang “It’s enough from me, more questions?” Si bapak psikolog
menggeleng. Lalu tiba-tiba si bapak professor 2 yang dari tadi diam
memperhatikan saya dan sibuk membaca aplikasi saya di laptop bertanya. Saya
hampir lupa dengan keberadaan bapak professor yang satu ini karena keasikan
diskusi dengan si bapak psikolog dan si bapak professor 1.
Beliau bertanya dalam bahasa Indonesia
dengan sangat lembut :
RProf 2 : “Sudah ada kontak
dengan universitas?”
Me : “Sudah Pak”
RProf2 : “Leiden ini bagus loh
hukumnya, nanti kamu setelah S2 langsung S3 saja, tidak usah balik dulu ke
Indonesia. Sayang kan kalau tidak langsung lanjut S3.”
Saya hanya senyum bingung mau
jawab apa, maunya saya sih saya iyakan tapi takut ini jebakan batman karena
yang saya dengar kan LPDP harus balik ke Indonesia selesai studi. Nanti kalau
saya iyakan berarti saya tidak mau balik dulu, takutnya malah tidak diluluskan.
Dilema haha. Ternyata baru-baru ini saya dapat info dari teman yang sudah PK
(Persiapan Keberangkatan) LPDP, dia bilang kalau Awardee LPDP setelah S2, sudah bisa lanjut S3 tanpa
ada seleksi lagi dari LPDP dengan syarat IPK mencukupi dan ada proposal
penelitian. Jadi semacam garansi, kalau lulus LPDP magister in syaa Allah dapat
garansi juga akan dibiayain untuk S3. Wah, ternyata apa yang dibilang si bapak
professor bukan jebakan batman. Hehe.
Setelah pertanyaan tersebut saya
dipersilahkan untuk meninggalkan ruangan. Alhamdulillah interview 1 jam pun
tidak terasa. Alhamdulillah reviewernya baik dan ramah, kelihatan
beliau-beliau professor yang sangat berwibawa dan berwawasan luas.
Begitulah ringkasan interview
saya. Pengalaman setiap orang bisa berbeda-beda. Namun tips saya adalah kuasain
rencana studi, karena interview saya hanya seputar rencana studi. Jurusan,
Universitas yang dituju, Negara yang dituju, pasca rencana studi dan mungkin
pertanyaan menjebak seperti pertanyaan mengenai sistem yang ditanyakan ke saya
kemarin. Intinya jadilah diri sendiri, selama di interview kita tidak bisa
berbohong karena mereka akan membongkar habis-habisan apa yang kita tulis di
aplikasi, apalagi ada si ibu dan bapak psikolog yang dengan senyum dan
catatannya menilai karakter kita.
Dan yang terakhir pastilah berdoa, sebelum masuk ruangan saya berulang kali melafalkan doa yang dilafalkan
nabi Musa ketika beliau ingin mengajak Fir’aun masuk Islam :
(Rabbi
Sharli Sadri wa yassirli amri wahlul uqdatan mil-lisaani yafqahu qawli)
.
"...O my Sustainer! Open up my heart [to Thy light], and make my task easy
for me, and loosen the knot from my tongue so that they might fully understand
my speech"
Surah Taha, 20:25-28
Selamat Seleksi BPI LPDP, semoga sukses
selalu !
Salam LPDP,
Maulida Hadry Sa’adillah